Aku terdiam, bergulat dengan pikiran dan perasaan yang bercampur aduk. Ada sesuatu dalam kata-kata Elsa yang membuatku merasa seakan telah memasuki dunia lain—dunia yang samar, jauh di luar pemahamanku.
Perlahan, Elsa menyelipkan batu permata itu ke dalam genggamanku. “Batu ini akan menjadi pengingat,” ujarnya lembut. “Saat kau ragu, peganglah. Rasakan energinya.” Suara Elsa terdengar aneh, seperti berbisik di dalam kepalaku, meski bibirnya tidak bergerak.
Aku mendongak, menatapnya dengan pandangan bingung. "Elsa... bagaimana mungkin...?"
Namun sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku, Elsa menoleh cepat, seolah mendengar sesuatu yang tak terdengar olehku. “Kita harus pergi,” katanya dengan nada mendesak.
“Pergi ke mana?” tanyaku.
“Ke tempat di mana rahasia ini akan terungkap. Aku tak punya banyak waktu,” katanya, wajahnya mulai terlihat tegang. Elsa berdiri dan menarik tanganku. Kami berjalan cepat menuju lorong yang gelap, jauh dari keramaian. Tak ada suara lain, kecuali langkah kaki kami yang terpantul di dinding-dinding batu.
Kami sampai di sebuah pintu besi tua yang tampak seperti tidak pernah digunakan. Elsa berhenti di sana, lalu meletakkan telapak tangannya di atas permukaan pintu itu. Perlahan, pintu itu terbuka sendiri dengan suara berderit yang menggema. Di baliknya ada ruangan kosong, dengan dinding berlumut dan langit-langit yang rendah. Di tengah-tengah ruangan itu, hanya ada cermin besar yang menutupi seluruh dinding.
“Apa ini?” tanyaku, mencoba memahami apa yang kulihat.
Elsa tersenyum tipis. “Ini... jendela. Jendela ke dunia yang lain.”
Ia mengarahkanku ke depan cermin, lalu berkata, “Lihatlah dengan seksama. Apa yang kau lihat di balik bayanganmu?”
Aku ragu, namun aku menuruti ucapannya. Ketika aku menatap cermin, bayanganku sendiri perlahan memudar. Di baliknya, aku melihat pemandangan yang aneh—sebuah dataran berbatu yang bersinar di bawah langit ungu, penuh dengan bintang-bintang besar dan cahaya yang berpendar. Tempat itu terasa asing dan sekaligus mengundang. Seolah-olah... seolah-olah aku sudah pernah ke sana, meski aku tahu itu tidak mungkin.
“Ini planetku, Dul,” bisik Elsa di sebelahku. “Di sinilah aku berasal. Dan kau... kau mungkin lebih terhubung dengannya daripada yang pernah kau bayangkan.”
Aku terdiam, membiarkan kata-katanya meresap perlahan. “Apa maksudmu?”
“Percaya, Dul,” katanya sambil menatapku. “Percaya pada yang tak terlihat.” Senyum misteriusnya muncul lagi, kali ini lebih samar. “Aku sudah menunggu seseorang sepertimu. Seseorang yang bisa melihat dan merasakan... lebih dari yang tampak.”
Hati kecilku bergemuruh. Perlahan, aku merasakan energi aneh mengalir dari batu permata di tanganku, menghangatkan telapak tanganku, dan mengisi tubuhku dengan kekuatan yang tak pernah kurasakan sebelumnya.
Saat aku menatap ke dalam cermin, pandanganku mulai kabur, dunia di sekelilingku terasa memudar. Suara Elsa menjadi gema yang memudar di kejauhan, “Sampai jumpa di sisi lain, Dul...”
Dan dalam sekejap, semuanya menghilang. Aku terlempar ke kegelapan yang asing, tanpa tahu apakah aku akan kembali... atau tersesat dalam misteri yang kini sudah menjadi bagianku.
No comments:
Post a Comment