Saat kesadaranku perlahan kembali, aku merasakan sesuatu yang dingin menempel di pipiku. Perlahan aku membuka mata, berusaha memahami di mana aku berada. Aku melihat ke sekeliling... dan terkejut. Aku tidak berada di dunia asing penuh cahaya ungu dan bintang besar, seperti yang terlihat di cermin itu. Tidak. Aku berada di tengah gang belakang sebuah warung makan yang sempit, di antara tumpukan kardus dan deretan ember yang tergenang air.
Elsa berdiri di depanku, menatapku dengan ekspresi canggung sambil berusaha menahan tawa.
"Uh... jadi ini dunia lain yang kamu maksud?" tanyaku, berusaha menutupi kebingungan dengan sedikit sarkasme.
Elsa menggaruk kepalanya, agak malu-malu. "Maaf, sepertinya jendela antargalaksi ini lagi rusak. Biasanya tempat ini mengarah ke planet asliku. Tapi kali ini… ya, agak melenceng sedikit."
Aku mendengus. “Sedikit? Ini bukan melenceng lagi, Elsa. Kita malah nyasar di belakang warung makan!”
Tiba-tiba, pemilik warung muncul, menatap kami dengan alis terangkat. "Hei, kalian ngapain di sini? Ini tempat buat buang sampah, bukan buat pacaran!"
Elsa buru-buru menunduk, menggenggam tanganku, dan berbisik, “Ayo cepat keluar dari sini sebelum kita dibilang anak aneh.” Dia menarikku pergi dengan langkah cepat, sementara aku menoleh sekali lagi ke belakang, memastikan tidak ada yang melihat aksi aneh kami.
Kami berjalan menjauh, menyusuri jalanan kota yang terang benderang, tak jauh dari warung tadi. Suasana sudah kembali tenang, meski aku masih penasaran dengan semua yang baru saja terjadi.
“El,” panggilku pelan. “Ini serius, kan? Maksudku… soal planetmu itu?”
Elsa mengangguk yakin, lalu menghela napas panjang. “Ya, ini sungguhan, Dul. Aku tahu tadi agak kacau, tapi planetku memang ada. Percayalah, aku hanya perlu menemukan cara lain untuk membawamu ke sana.”
Aku mengangguk, mencoba meyakinkan diriku sendiri. Tapi ada satu pertanyaan yang mengganjal, dan aku tak bisa menahan untuk tidak mengatakannya. “Elsa, sebenarnya... kamu yakin ini semua nggak cuma semacam... prank?”
Elsa tertawa kecil sambil menepuk pundakku. “Dul, kalau ini prank, aku nggak mungkin sampai bawa kamu nyasar di belakang warung makan. Kamu kira aku nggak ada kerjaan apa?”
Kami berdua tertawa kecil, tapi tawa itu perlahan menghilang saat Elsa mengeluarkan sesuatu lagi dari tasnya. Kali ini, bukan batu permata, tapi sebuah benda kecil yang berkilauan dalam cahaya lampu jalan. Sebuah benda berbentuk bulat, tampak seperti remote kecil dengan berbagai tombol yang tak pernah kulihat sebelumnya.
“Ini dia,” katanya dengan nada serius. “Aku akan mencoba perangkat ini. Semoga kali ini berhasil.”
Aku menelan ludah, mencoba menenangkan detak jantung yang mendadak berdebar lebih cepat. “Oke, kalau kali ini kita malah sampai ke atap rumah orang, aku keluar.”
Elsa tersenyum, lalu menekan salah satu tombol di remote itu. Dan dalam sekejap, cahaya terang mengelilingi kami, membuatku merasa melayang. Tapi kali ini, berbeda—aku merasa seperti ditarik ke suatu tempat yang benar-benar asing. Sebelum semuanya menghilang, aku mendengar suara Elsa di telingaku.
“Kali ini, jangan khawatir. Aku yakin kita akan sampai di tempat yang benar... atau minimal bukan di belakang warung makan.”
Aku hanya bisa menahan napas dan berharap. Jika ini benar-benar "planet" Elsa, aku tak sabar melihat apa yang akan kami temukan—dan semoga saja, bukan tempat cuci piring di warung sebelah!
No comments:
Post a Comment