Tetes hujan merintih ditengah kangen ku, jika usai hujan di senja ini,

ku berharap pelangi dihadirkan oleh Tuhanku, untuk mengobati rindu yang semakin meronta diujung kalbu.

Tuesday, August 12, 2025

Sepi yang Berbisik


Sepi yang Berbisik
Mini Novel


Langkahku meninggalkan kafe terasa lambat, seolah setiap kerikil di trotoar ingin menahan. Udara malam mengelus wajahku, membawa aroma tanah basah sisa hujan siang tadi. Lampu-lampu jalan memantulkan cahaya lembut di aspal, membuat bayanganku terlihat seperti sosok asing yang mengikuti dari belakang.

Tanpa rencana, kakiku membawaku ke sebuah masjid tua di ujung jalan—bangunannya sederhana, cat dindingnya memudar, namun pintunya terbuka seperti menyambut siapa pun yang ingin singgah. Dari dalam, samar terdengar suara azan Isya, lirih namun cukup untuk menembus riuh pikiranku.

Aku masuk ke serambi. Lantai keramik dingin menyentuh telapak kaki. Di pojok, seorang lelaki tua duduk di kursi kayu, jemarinya memainkan tasbih. Aroma kayu tua bercampur bau sajadah yang sudah lama dipakai. Matanya memandang ke arahku, lalu tersenyum—senyum yang tidak menuntut apa-apa.

Tanpa banyak bicara, aku duduk tak jauh darinya. Dan entah mengapa, di tengah keheningan itu, mataku basah. Air mata jatuh tanpa izin.

“Nak,” suaranya pelan, serak namun hangat, “kadang kesepian itu adalah cara Tuhan memanggil kita pulang.”

Aku menatapnya, tak mampu langsung menjawab. Kata-katanya merembes ke dalam, seperti air hujan yang menyusup perlahan ke tanah.

Dia mulai bercerita, tentang para salik yang berjalan sendirian di padang sunyi, namun hatinya penuh cahaya. Tentang orang-orang yang menemukan kedamaian bukan saat dikelilingi manusia, tapi saat hatinya tenggelam dalam ingatan kepada Yang Maha Ada.

“Kesepian itu ruang,” katanya lagi. “Tempat hati berbicara. Sayangnya, kita terlalu sibuk mendengar dunia, sampai lupa mendengar suara hati sendiri.”

Malam itu aku pulang dengan dada yang berbeda. Jalanan yang sama, lampu yang sama, namun langkahku terasa lebih ringan.

Sejak malam itu pula, aku mulai belajar.
Belajar duduk diam di depan secangkir kopi tanpa merasa perlu memotret dan membaginya.
Belajar mendengar detak jam di kamar sendiri, tanpa musik, tanpa layar.
Belajar menatap langit malam tanpa tergesa mengalihkan pandangan.

Lambat laun, kabut di kepalaku menipis. Kesepian yang dulu kurasa seperti lubang gelap, kini justru menjadi taman kecil di dalam diriku—tempat aku bisa duduk dan bernafas.

Dan aku mengerti. Rumah yang selama ini kucari ternyata bukan alamat di peta, melainkan ruang di hati.
Ruang di mana aku tahu: aku tidak pernah benar-benar sendiri.


---
Bab Dua – Latihan Sunyi

Malam-malam berikutnya, langkahku kembali menyusuri jalan yang sama.
Kafe itu masih ada, wangi kopinya masih menggoda dari kejauhan, tapi entah kenapa aku lebih memilih terus berjalan ke arah masjid tua di ujung jalan.

Di serambi, lelaki tua itu masih duduk di kursi kayu yang sama. Tasbihnya bergerak perlahan, seirama napasnya yang tenang.
Kali ini aku memberanikan diri duduk di hadapannya.

“Aku kembali,” kataku singkat.
Ia tersenyum, seolah memang menungguku.

“Kalau kau ingin mengusir sunyi, kau akan kalah. Tapi kalau kau mau bersahabat dengannya, ia akan menjadi guru,” ucapnya.

Malam itu, dia memberiku tugas pertama: diam selama sepuluh menit penuh tanpa memikirkan apa pun, hanya merasakan napas masuk dan keluar.

Ternyata itu sulit.
Bahkan sebelum menit ketiga, pikiranku sudah melompat ke pekerjaan, rencana besok, bahkan notifikasi ponsel yang belum sempat kubuka.
Tapi setiap kali pikiranku terlempar, suara lirih lelaki tua itu menarikku kembali.
“Jangan lawan pikiranmu. Biarkan ia lewat seperti angin.”

Sepuluh menit itu terasa seperti sejam. Namun saat membuka mata, dunia terasa berbeda—lebih pelan, lebih lembut.
Aku mendengar bunyi kursi kayu yang berderit saat ia bergeser, mencium bau debu sajadah yang bercampur aroma kayu tua, bahkan mendengar sayup azan dari masjid lain di kejauhan.

Latihan itu berlanjut malam demi malam.
Kadang aku diminta duduk di serambi hanya untuk mendengar langkah orang yang lewat.
Kadang diminta berjalan perlahan di halaman masjid sambil menghitung detak jantung.
Kadang hanya menyeruput kopi panas di gelas kecil, memejamkan mata, dan mencoba merasakan setiap lapisan rasa yang singgah di lidah.

Di tengah latihan sunyi itu, aku mulai mendengar suara-suara yang dulu terabaikan—suara gemerisik daun, suara napas sendiri, suara hatiku yang lama terkubur.

Suatu malam, lelaki tua itu berkata,
“Kelak kau akan mengerti, sunyi itu bukan kekosongan… tapi ruang yang memberi tempat bagi cahaya.”

Malam itu aku pulang dengan dada yang hangat. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa kesepian tidak lagi menggigit.
Ia hanya duduk di sebelahku, tenang, seperti teman lama yang akhirnya bisa kupahami.

Bab Tiga – Saat Sunyi Diuji

Hujan turun sejak sore.
Bukan hujan deras, hanya gerimis yang seolah malas jatuh ke bumi, namun cukup membuat aroma tanah basah merayap hingga ke jalan-jalan kecil.
Aku memutuskan tetap pergi ke masjid tua itu, meski malam basah dan jalan licin.

Sesampainya di serambi, kursi kayu tempat lelaki tua biasa duduk kosong.
Tasbih yang selalu ada di tangannya tak terlihat.
Aku menunggu sambil menyeruput kopi panas yang kubeli di warung dekat sana—kopi hitam pekat dengan sedikit bubuk yang mengendap di dasar gelas. Hangatnya merayap pelan di kerongkongan, tapi ada kekosongan lain yang tak terisi.

Sampai akhirnya seorang jamaah keluar dari dalam masjid, menepuk bahuku, lalu berkata lirih,
“Guru itu… tak akan datang lagi. Pagi tadi, beliau dipanggil pulang.”

Kata-kata itu seperti air dingin yang tiba-tiba disiramkan ke seluruh tubuhku.
Aku terdiam.
Mendadak latihan-latihan sunyi yang dia ajarkan berputar di kepalaku seperti potongan film. Senyum tenangnya. Ucapan pendeknya. Tatapan matanya yang tak pernah tergesa-gesa.

Gerimis makin rapat.
Aku duduk di kursi kayu itu, yang kini terasa lebih tua, lebih dingin, dan berderit pelan saat kuubah posisi duduk.
Malam menelan semua suara, menyisakan hanya bunyi air menetes dari talang dan sayup azan Isya dari masjid lain yang terdengar jauh.

Aku menutup mata.
Latihan pertama yang dia ajarkan—menarik napas dalam-dalam, melepaskannya perlahan—aku lakukan di situ.
Sunyi yang dulu terasa seperti jurang, malam itu menjadi pelukan.

Di antara denting hujan dan aroma kopi yang mulai dingin, aku merasa seakan lelaki tua itu masih duduk di sebelahku, menggerakkan tasbihnya, dan berkata,
“Jangan takut kehilangan. Sunyi akan menjagamu.”

Malam itu aku pulang bukan dengan air mata, tapi dengan langkah yang ringan.
Karena entah bagaimana, aku tahu sunyi itu kini tinggal bersamaku—bukan sebagai kekosongan, tapi sebagai warisan.

Bab Empat – Perjalanan yang Membawa Bayangan

Pagi itu, Pekanbaru seperti seorang ibu yang melepas anaknya dengan senyum yang disembunyikan di balik tirai.
Udara lembap setelah semalaman hujan, aroma tanah dan dedaunan basah bercampur dengan wangi kopi tubruk yang baru diseduh di warung stasiun. Aku memesan satu gelas, duduk di kursi kayu yang ujungnya mulai lapuk, dan menatap kereta yang sebentar lagi akan membawaku meninggalkan kota ini.

Di dalam kepalaku, suara lelaki tua itu masih jelas: “Sunyi akan menjagamu.”
Tapi di hatiku, ada riak kecil yang tak mau diam—pertanyaan apakah sunyi juga sanggup menjagaku di tengah kota yang asing, di antara wajah-wajah yang tak mengenal namaku.

Kereta berangkat.
Di luar jendela, sawah-sawah dan hutan sawit berganti-ganti seperti bingkai film yang bergerak cepat. Bau besi dan kayu tua dari kursi kereta bercampur dengan aroma rokok kretek yang dibawa angin dari gerbong lain.

Sesekali, samar dari kejauhan, azan Zuhur terdengar. Suaranya tipis, terbawa angin, lalu hilang ditelan deru roda besi di rel.
Aku memejamkan mata, menghirup udara yang dingin dari ventilasi, dan membiarkan rasa itu menyeretku kembali ke kursi tua di serambi masjid—ke hari ketika sunyi pertama kali diajarkan padaku.

Tiba di kota tujuan, segalanya terasa bising.
Klaxon, obrolan cepat di trotoar, musik dari warung tenda, semua saling berebut ruang.
Sunyi yang kujaga di dalam dada seperti terdesak oleh riuh yang tak kenal waktu.

Malam pertama di penginapan, aku duduk di balkon sempit.
Kopi panas di tanganku terasa tak sehangat kopi di serambi masjid itu. Aroma kayu di sini tidak setua dan sesahaja kursi tua itu. Angin membawa suara azan Isya yang samar, tapi cepat ditelan musik dangdut dari jalan raya.

Saat itulah dia datang.
Seorang pemuda berkulit sawo matang, mengenakan jaket lusuh, membawa gitar yang bodinya sudah penuh coretan spidol. Dia duduk di kursi sebelah, menyalakan rokok, lalu berkata pelan,
“Kau terlihat seperti orang yang sedang kehilangan rumah.”

Aku menoleh.
Tatapannya tajam tapi tenang—sejenis tatapan yang pernah kulihat di mata lelaki tua itu.

Dan entah kenapa, aku merasa cerita ini baru saja membuka lembaran yang berbeda.

Bab Lima – Gitar dan Rahasia

Pemuda itu menghisap rokoknya perlahan, membiarkan asapnya menari di udara sebelum hilang tersapu angin malam.
Lampu jalan di bawah memantulkan warna kuning pucat ke wajahnya, membuat gurat lelah di sekitar matanya semakin jelas.
Aku belum menjawab pertanyaannya.

Dia tersenyum tipis, seolah sudah tahu jawabannya tanpa perlu kudengar.
“Rumah itu bukan soal bangunan. Bukan juga soal tanah. Kadang rumah cuma ada di satu momen—dan ketika momen itu hilang, kita jadi pengembara.”
Nada suaranya seperti nada senar gitar yang baru disetem: jernih, tapi menyimpan potensi untuk pecah kapan saja.

Aku memandang cangkir kopiku yang mulai dingin. Aroma pahitnya sudah menipis, tergantikan oleh bau tembakau dari rokoknya.
“Kalau kau tahu aku kehilangan rumah,” kataku pelan, “apa kau juga pernah kehilangannya?”

Dia tertawa kecil, bukan tawa bahagia, tapi tawa orang yang sudah terlalu sering memikul beban yang tak mau dibagi.
“Tidak,” jawabnya. “Rumahku dirampas. Dan sejak itu aku bermain gitar untuk mengingatkan diriku sendiri bahwa aku pernah punya satu.”

Kami terdiam cukup lama.
Dari kejauhan, samar terdengar azan Isya diulang dengan pengeras suara yang agak pecah. Ada sesuatu pada suara itu—serak, namun memanggil—yang membuat dadaku bergetar.

Pemuda itu meraih gitarnya, memetik beberapa nada. Suaranya pelan, seakan takut mengganggu bintang.
“Namaku Jati,” katanya. “Aku sedang mencari seseorang. Katanya dia membawa kunci yang bisa mengembalikan rumahku.”

Aku menatapnya.
“Kunci?”

Ia mengangguk, lalu tersenyum misterius.
“Mungkin kau tahu dia. Atau mungkin… kau sendiri yang membawanya.”

Angin malam berhembus lebih dingin, dan untuk sesaat aroma kopi, tembakau, dan kayu basah terasa seperti campuran rahasia yang tak seharusnya kubuka malam itu.

Namun aku tahu, sejak pertemuan ini, perjalanan sunyi yang kutempuh tak akan lagi sama.

Bab Enam – Jalan yang Mengajak Pulang

Malam semakin menua, dan kursi kayu di bawahku mulai terasa dingin. Teksturnya kasar, dengan serat-serat yang mencuat seperti ingin menggores kulit. Aku memindahkan posisi duduk, tapi bunyi “kriet… kriet…” yang timbul justru membuat kami sama-sama tersenyum, seolah keduanya—kursi dan aku—sama-sama sudah lelah.

Jati mengakhiri petikannya dengan sebuah nada gantung, lalu meletakkan gitar di pangkuan.
“Kalau kau tak keberatan,” katanya sambil menatapku, “ikutlah denganku. Mungkin jalan yang kucari juga akan membawamu pulang.”

Aku terdiam. Kata “pulang” itu bergetar di kepalaku, seperti lonceng yang dipukul pelan namun berkali-kali.

Dari arah selatan, semilir angin membawa aroma tanah basah bercampur daun yang tertimpa embun. Samar, terdengar derap sandal seorang bapak tua lewat di jalan, diiringi suara cicak yang berkicau pendek di tembok warung kopi. Semua terasa tenang, tapi entah mengapa ada sensasi bahwa malam sedang menunggu sesuatu.

“Ke mana?” tanyaku akhirnya.

Jati hanya tersenyum, lalu berdiri. Kursi kayu yang ia duduki berderit ketika ia mundur, meninggalkan bau tembakau yang menggantung di udara.
“Kau akan tahu ketika kita sampai,” jawabnya singkat.

Kami berjalan melewati gang kecil di samping warung. Dinding bata merah di kiri kanan terasa lembap saat jariku menyentuhnya. Lampu-lampu neon yang berkedip memantulkan cahaya seperti denyut jantung yang tak teratur. Di kejauhan, suara azan yang tadi terdengar kembali, namun kali ini hanya potongan kalimatnya yang tersapu angin—membuatnya terdengar seperti doa yang terputus.

“Kenapa kau yakin aku bisa membantumu?” tanyaku pelan.

Jati tak menoleh. “Karena aku pernah melihatmu… dalam mimpi. Tepat di depan sebuah pintu tua. Dan di tanganmu ada kunci.”

Aku berhenti melangkah.
Bau kopi dari warung sudah hilang, tergantikan aroma logam basah dan sesuatu yang mirip kayu bakar. Malam kini seperti lorong panjang yang hanya mengizinkan kami maju.

Dan untuk alasan yang tak kumengerti, aku memilih mengikuti Jati.
Bab Tujuh – Pintu yang Menunggu

Gang itu berakhir di sebuah lapangan kecil yang gelap, hanya diterangi satu bohlam tua yang tergantung miring di tiang kayu. Cahaya kekuningannya menetes seperti madu, lelah dan hampir padam.

Di tengah lapangan, berdiri sebuah rumah tua. Pintu depannya terbuat dari kayu jati, usang namun tegak, dengan bekas ukiran bunga yang nyaris hilang dimakan waktu. Catnya mengelupas, menampakkan serat kayu yang pucat.

“Ini dia,” kata Jati, suaranya lebih rendah dari sebelumnya, nyaris seperti bisikan yang takut membangunkan sesuatu.

Aroma debu bercampur kayu lapuk menyeruak, menusuk hidungku. Di bawah bau itu, ada wangi samar yang anehnya mengingatkanku pada kenangan masa kecil—wangi kain batik yang disimpan terlalu lama di lemari nenek.

Angin berembus pelan, dan di kejauhan suara azan isya yang terlambat sampai ke telinga kami, patah-patah seperti terhalang dinding. Sejenak, waktu terasa terlipat.

Jati melangkah lebih dekat. Dari sakunya, ia mengeluarkan sesuatu—bukan kunci, melainkan sebuah benda kecil berbentuk segitiga, terbuat dari logam kehitaman. Ia menggenggamnya erat, lalu menatapku.
“Kau yang harus membuka pintunya,” katanya.

Aku menelan ludah. Kulit telapak tanganku terasa hangat ketika ia menyerahkan benda itu kepadaku. Teksturnya kasar, ada bekas pahatan di permukaannya.

“Kenapa aku?” tanyaku.

Ia tersenyum tipis, tapi kali ini senyum itu seperti menyimpan berat yang tak ingin dibagi.
“Karena pintu ini… hanya mengenalmu.”

Aku memandang pintu itu lagi. Di antara garis-garis kayunya, aku melihat sesuatu yang tak mungkin: samar, tapi jelas seperti ukiran bayangan wajahku sendiri, seolah rumah itu telah menungguku jauh sebelum aku sampai di sini.

Dan malam, dengan semua aromanya, bunyinya, dan gelapnya, menahan napas menunggu aku memutuskan.

Bab Tujuh Setengah – Nafas di Ambang

Aku berdiri di depan pintu itu, menggenggam segitiga logam di tanganku. Angin malam menyusup lewat celah-celah baju, namun keringat dingin tetap mengalir di tengkukku.

Bohlam tua di tiang kayu bergetar tertiup angin, menciptakan bayangan pintu yang memanjang di tanah, berdenyut pelan seperti detak jantung.

Aku tak tahu apakah suara itu datang dari luar atau dari dalam diriku sendiri.

“Letakkan di tengah,” kata Jati pelan, menunjuk lingkar samar di papan pintu, hampir tak terlihat kalau tidak diperhatikan.

Aku mendekat. Setiap langkah membuat udara di sekitarku terasa lebih tebal, seolah ruang di depan pintu ini memiliki gravitasi sendiri.

Ketika logam segitiga itu menempel di lingkar kayu, sebuah getaran halus merambat ke telapak tanganku.
Bukan suara keras, tapi lebih seperti dengung rendah yang menyentuh tulang—mengingatkanku pada suara ombak yang kudengar saat kecil, ketika menempelkan telinga ke cangkang kerang.

Sekejap, mataku memanas.
Bukan karena takut, tapi karena di dalam getaran itu aku mendengar sesuatu—lirih, hampir seperti suara ibuku memanggil namaku.
Padahal… dia sudah lama tiada.

Aku menarik napas panjang, mencoba membedakan apakah ini hanya permainan pikiranku, atau memang ada sesuatu yang memanggil dari dalam rumah.

“Begitu pintu terbuka,” Jati memperingatkan, “kau tidak hanya akan masuk ke sebuah ruangan. Kau akan masuk ke… dirimu sendiri.”

Mataku beralih padanya. Ia menatapku tanpa berkedip. Tidak ada gurauan di matanya malam ini.

Aku tak sempat bertanya lebih jauh, karena saat aku menekan segitiga logam itu sedikit lebih kuat, terdengar suara klik lembut.

Pintu itu bernafas.
Aku tahu itu terdengar gila, tapi aku merasakannya—sebuah hembusan hangat yang keluar perlahan, seolah rumah ini baru saja bangun dari tidur yang sangat panjang.

Dan dari celah sempit antara pintu dan kusen, aku melihat cahaya redup, berwarna keemasan, berdenyut seperti pelita yang jauh di dasar sumur.

Aku memejamkan mata sebentar.
Lalu, aku mendorong pintu itu.

Bab 8 – Riak di Dalam Hening

Dia bercerita, tidak tergesa—seolah setiap kata yang keluar darinya sudah disaring oleh waktu. Suaranya seperti riak air yang membelai batu: pelan, jernih, namun meninggalkan jejak.

> “Kesepian adalah ruang di mana hati berbicara,” ujarnya sambil menatap ke luar jendela. “Tapi kita terlalu sibuk mendengar suara dunia, sampai melupakannya.”



Aku terdiam. Kalimatnya menetes seperti hujan yang jatuh satu-satu di atap seng, memaksa telinga untuk mendengarkan hingga habis.

> “Kita lari dari sepi dengan keramaian,” lanjutnya, “padahal obatnya justru ada dalam hening.”



Saat itu, suara azan yang tadi samar, kini menghilang sama sekali. Yang tersisa hanya bunyi angin yang merayap masuk lewat celah dinding kayu. Bau kopi di meja kami menghangatkan udara, bercampur aroma hujan yang tertinggal di serat pakaian.

> “Hati yang selalu mengingat Allah,” suaranya merendah, nyaris seperti bisikan, “tak akan pernah benar-benar sendiri.”



Kata-kata itu menancap di tempat terdalam.


---

Sejak malam itu, aku mulai mencoba perlahan.

Mengurangi menatap layar ponsel. Menggantinya dengan secangkir kopi panas di meja kayu tua, hanya ditemani pikiranku sendiri. Suara gesekan cangkir di permukaan kayu menjadi musik yang anehnya menenangkan.

Mengunjungi panti jompo, mendengarkan kisah orang-orang yang merindukan kesepian seperti milikku. Dari mereka, aku belajar bahwa sunyi bisa menjadi rumah, jika kita tahu cara memasukinya.

Duduk di kamar gelap, membiarkan hening berbicara. Merasakan napas keluar masuk seperti doa yang tak terdengar, seperti bisikan dari langit yang hanya bisa ditangkap oleh hati yang siap mendengarnya.

Hari demi hari, kabut di dadaku menipis.


---

Epilog – Rumah yang Selama Ini Kucari

Kini aku mengerti—kesepian bukanlah musuh. Ia adalah pintu. Dan di balik pintu itu, ada sesuatu yang selama ini kucari: kedamaian yang tak bisa diambil siapa pun, kecuali oleh Dia yang memberikannya.

Aku masih duduk sendiri di kafe itu, mencium aroma kopi yang sama, membelai permukaan kayu yang sama. Tapi kini, di dalam dada yang dulu kosong, ada sesuatu yang hangat.

Aku masih sendiri. Tapi aku tak lagi kesepian.






Sunday, August 10, 2025

Kau Menilaiku Salah



Hujan turun deras malam itu. Rinai air mengetuk jendela kamar Dara, seolah menertawakan sunyi yang bersarang di dadanya. Di meja kecil di sudut ruangan, segelas teh sudah dingin. Ia duduk sendiri, memandangi foto terakhir mereka—ia dan Reza, tersenyum di puncak gunung dengan peluh dan bahagia yang seakan tak ada akhirnya.

Tapi nyatanya, ada akhirnya. Hari itu datang tanpa aba-aba. Reza pergi. Tidak dengan tangisan atau pertengkaran, tapi dengan pesan singkat:
"Kita nggak bisa bareng-bareng lagi. Maaf, aku lelah."

Dara tak mengerti. Lelah? Bukankah selama ini ia yang paling tangguh? Bukankah ia yang selalu menggenggam ketika Reza nyaris jatuh? Bukankah ia yang selalu mendengarkan, yang menahan tangis saat Reza melampiaskan kecewa pada dunia?

Ia menutup matanya, mengingat saat-saat itu. Saat Reza kehilangan pekerjaan, Dara ada. Ia membatalkan liburan yang sudah ia tabung setahun demi membantu Reza bangkit. Saat Reza ragu dengan dirinya sendiri, Dara yang meyakinkannya bahwa ia bisa.

“Apa aku pernah mengeluh?” bisik Dara pada dirinya sendiri. “Apa aku pernah berlari, saat dia punya masalah?”

Tidak. Ia tidak pernah lari. Bahkan ketika Reza mulai berubah—menjauh, diam, dan dingin—ia tetap bertahan, berharap itu hanya badai sementara.

Namun ternyata, Reza tak melihat semua itu. Ia memilih pergi, membawa serta alasan yang tak pernah Dara pahami.

Dara berdiri, berjalan pelan ke cermin. Di sana, bayangan wajah lelahnya menyambut. Tapi ada sesuatu yang berbeda malam ini—bukan kesedihan, bukan amarah. Tapi kesadaran.

“Sayang,” gumamnya lirih, seperti berbicara pada seseorang yang tak lagi ada, “kau menilaiku salah.”

Ia menarik napas panjang. Bukan untuk Reza. Tapi untuk dirinya sendiri. Untuk semua luka yang pernah ia tutupi dengan senyum, dan untuk kekuatan yang akhirnya ia sadari benar-benar ada dalam dirinya.

Esok hari akan datang. Dan Dara tahu, ia akan menyambutnya. Tanpa penyesalan.

Tipe-Tipe Pengguna Jalan yang (Pasti) Pernah Kamu Temui



Kadang kalau lagi di jalan, rasanya kayak lagi nonton film dengan banyak karakter unik. Semua ada perannya masing-masing. Ada yang bikin kita adem, ada yang bikin pengen tepok jidat, bahkan ada yang bikin kita mendadak pengen pindah planet.

Suatu pagi, aku lagi berhenti di lampu merah. Di sebelahku ada pengendara yang rapi banget. Helmnya terpasang sempurna, tangannya nggak pernah lepas dari setang, dan pas lampu hijau nyala, dia melaju pelan, santai, nggak bikin panik. Tipe begini nih yang bikin hati tenang. Kalau semua orang kayak dia, mungkin jalanan kita bisa jadi surga kecil.

Eh… tapi di belakangnya, ada yang berbeda. Dia hobi banget klakson. Macet dikit—klakson. Ada orang nyebrang—klakson. Lampu baru kuning—klakson lagi. Kayaknya kalau ada hujan pun dia bakal nyalahin cuaca lewat klakson. Motto hidupnya mungkin: “Hidup itu singkat, jadi klaksonlah selagi bisa.”

Belum habis cerita, di sebelah sana ada yang gayanya udah kayak pembalap sirkuit. Detik hitung mundur di traffic light dianggap start balapan MotoGP. Begitu lampu hijau nyala, ngengggg! dia melesat. Nggak peduli ada ibu-ibu bawa belanjaan di depan atau ada bapak-bapak lagi ngesot nyebrang. Pokoknya gas pol. Biasanya tipe ini nongolnya pas malam minggu, trek-trekan sambil berharap ada yang kagum… padahal kagum pun nggak ada, pacar juga nggak ada.

Lalu, tentu saja, ada tipe “paling menyebalkan”: si ugal-ugalan. Nyelip sana-sini, nyerempet kendaraan orang, nerobos lampu merah, dan sering bikin kita refleks nahan napas. Kalau mau aman, sebaiknya mereka dikasih sepeda roda tiga aja. Minimal kalau jatuh, jatuhnya lucu, bukan bahaya.

Dan terakhir, tipe “nebengers sejati”. Mereka selalu punya bakat menyusup ke kendaraan orang lain. Awalnya ramah banget, sok perhatian, tapi ternyata cuma mau nebeng. Biasanya muncul saat jam pulang kerja atau kuliah. Di parkiran, mereka bisa pura-pura jadi tukang parkir, lalu… hap! Udah duduk di jok belakang kita.

Setiap kali aku di jalan, rasanya aku ketemu satu atau dua tipe ini. Dan aku yakin, kamu juga pernah.
Nah… kalau boleh jujur, kamu termasuk tipe yang mana? 😏
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...