Tetes hujan merintih ditengah kangen ku, jika usai hujan di senja ini,

ku berharap pelangi dihadirkan oleh Tuhanku, untuk mengobati rindu yang semakin meronta diujung kalbu.

Thursday, February 6, 2025

Bayangan di Balik Mata Luka


Malam itu, hujan turun dengan deras, menciptakan irama monoton di atas atap seng rumah kontrakan tua itu. Fajar terbaring di tempat tidurnya, masih merasakan nyeri menusuk di mata kirinya yang terluka akibat kecelakaan siang tadi. Perban putih menutupi sebagian wajahnya, dan rasa panas masih terasa di balik luka itu.

Dia menghela napas panjang, mencoba memejamkan mata, tetapi sesuatu yang aneh terjadi. Pandangannya menembus langit-langit kamar. Bukan dalam arti metaforis—dia benar-benar melihat menembus atap rumahnya.

Di atas sana, di lantai dua kontrakan yang dihuni seorang perempuan muda bernama Laras, dia melihat sesuatu yang tidak seharusnya terlihat. Laras baru saja keluar dari kamar mandi, rambut panjangnya masih basah, dan hanya mengenakan handuk putih yang melilit tubuhnya. Fajar membelalakkan mata—atau setidaknya itulah yang dia pikirkan. Namun, dia sadar satu hal: matanya yang terluka ini memberinya kemampuan tembus pandang.

Jantungnya berdebar. Ini bukan mimpi, bukan halusinasi akibat obat penghilang rasa sakit. Dia bisa melihat dengan jelas, terlalu jelas. Sejenak, dia mencoba menoleh ke arah lain, berharap pandangan ini berhenti. Namun, semakin dia berusaha menghindari, semakin jelas pula dunia di balik tembok dan atap yang tampak di hadapannya.

Laras berjalan ke arah cermin, menatap bayangannya sendiri. Wajahnya terlihat lelah, tetapi tetap cantik. Fajar merasa bersalah, merasa seperti seorang pengintip yang tidak tahu diri. Namun, di tengah rasa bersalah itu, sebuah pikiran lain muncul di benaknya: Bagaimana kalau kekuatan ini bisa digunakannya untuk sesuatu yang lebih besar?

Dengan hati-hati, dia duduk, mencoba memahami sejauh mana batas dari penglihatannya ini. Jika dia bisa menembus atap, apakah dia bisa melihat lebih jauh? Menembus dinding lain? Melihat sesuatu yang tersembunyi dari pandangan orang biasa?

Namun, saat dia menatap kembali ke arah Laras, gadis itu tiba-tiba menoleh ke arah Fajar, seolah menyadari sesuatu. Mata mereka bertemu—atau setidaknya begitulah yang Fajar rasakan. Jantungnya berdetak lebih cepat. Tidak mungkin, kan? Tidak mungkin Laras bisa melihatnya...

Tapi, mengapa ekspresi gadis itu terlihat begitu bingung?

Fajar tersentak. Apa yang sebenarnya terjadi dengan matanya?


Wednesday, February 5, 2025

Bahagiamu Tanpaku


Aku menatapnya dari kejauhan, berdiri di tengah keramaian yang terasa begitu sunyi bagiku. Senyum itu—senyum yang dulu hanya untukku—kini bersinar untuk orang lain.

Hari itu, aku melihatnya di sudut kafe tempat kami biasa menghabiskan waktu. Tangannya bertaut dengan seseorang yang kini mengisi ruang yang dulu kumiliki. Ada binar bahagia di matanya, binar yang pernah kupikir tak akan redup meski aku pergi. Tapi nyatanya, ia tak hanya bertahan tanpa aku—ia bahagia.

Hatiku seolah diremas. Aku ingin bersikap dewasa, meyakinkan diriku bahwa ini hal yang baik. Tapi mengapa rasanya sesak?

Aku ingin berpaling, namun kakiku seakan tertanam di tempat. Ingatanku berputar, membawa bayangan masa lalu yang tak bisa kuhindari. Tawanya, suaranya, caranya mengucapkan namaku—semua itu masih melekat dalam pikiranku, meski aku tak lagi menjadi bagian dari kisahnya.

Sejenak, matanya menoleh. Aku tak tahu apakah ia menyadari kehadiranku. Namun, seolah semesta ingin menguji hatiku, bibirnya melengkung dalam senyum yang begitu tulus—bukan untukku, tapi untuk seseorang di sampingnya.

Dan saat itu, aku menyadari sesuatu. Aku bukan hanya kehilangan dia. Aku kehilangan bagian dari diriku yang masih berharap...

Bahwa ia masih akan mencariku dalam setiap kebahagiaannya.

Tapi kenyataannya?

Ia sudah menemukannya tanpa aku.

Dan aku harus belajar menerima itu.

Monday, February 3, 2025

Judul: R.I.P. Cinta


---



Bab 1: Penghujung Cinta

Raka duduk di pinggir jendela kamar, menatap malam yang sepi. Hujan rintik-rintik di luar, mengingatkannya pada hari-hari yang sudah berlalu. Hati yang hancur itu tidak bisa ia rapikan, apalagi setelah apa yang baru saja terjadi. Sekar, wanita yang pernah mengisi hidupnya, kini tak lebih dari bayangan yang membekas.

Sekar berdiri di depan pintu, tangan terlipat di dada. Ia memandang Raka, bibirnya terkatup rapat, seperti mencoba menahan sesuatu yang ingin keluar. Udara di ruangan terasa kaku, penuh ketegangan yang tak bisa dihindari.

“Aku… Aku minta maaf,” kata Sekar, suaranya terdengar patah. “Aku tidak tahu harus mulai dari mana.”

Raka menundukkan kepala, mengusap wajahnya dengan tangan. "Aku juga. Seharusnya aku tahu ini tidak akan berhasil." Suaranya serak, seperti terbebani dengan penyesalan yang tak tertahankan. "Kau bilang kau akan mati untuk cinta kita... Tapi aku tidak pernah benar-benar mencintaimu."

Sekar menghela napas panjang, seolah mencoba menahan air mata yang ingin tumpah. “Kau tahu aku mencoba, Raka. Aku mencoba untuk... untuk menjadi cukup untukmu.” Matanya berkilau oleh kenangan yang belum sepenuhnya hilang. “Tapi apa yang kita punya ini… hanya ilusi. Aku bukan yang kau butuhkan.”

Raka mendekati Sekar, jaraknya terasa begitu dekat namun begitu jauh. “Kenapa kita harus berpura-pura lagi? Aku tahu, Sekar. Aku tahu ini sudah berakhir sejak lama.”

Sekar menggigit bibir, menahan diri agar tidak menangis. "Kau ingat waktu itu? Waktu kita masih percaya ada harapan."

Raka mengangguk, matanya menatap kosong ke luar jendela. "Aku ingat, Sekar. Tapi aku juga ingat saat aku mulai berpikir bahwa mungkin kita bukan jalan yang sama. Dan itu menyakitkan."

“Apa yang kita lakukan ini hanya akan menyakiti kita berdua lebih dalam. Aku tahu kau punya luka, Raka. Aku tahu, tapi aku... aku sudah cukup. Kita berdua sudah cukup terluka,” kata Sekar, suaranya semakin patah.

Raka menatapnya, wajahnya berubah tajam. “Aku... Aku tidak tahu bagaimana melanjutkan. Aku merasa seperti aku sudah merusak segalanya.”

Sekar mendekat dan menyentuh lengan Raka, matanya penuh penyesalan. "Kita tidak bisa mengubah masa lalu, Raka. Tapi aku berharap kita bisa belajar dari kesalahan ini. Aku berharap kita bisa... melepaskan ini dengan damai."

"Tapi bagaimana?" suara Raka hampir tak terdengar, "Bagaimana aku bisa melepaskanmu kalau hatiku masih terjebak dalam kenangan itu?"

Sekar mengangguk perlahan. "Aku tahu. Rasanya seperti sebuah kematian... seperti kita mengubur cinta kita sendiri. Tapi mungkin ini yang terbaik untuk kita, untuk menemukan kedamaian."

"Dan kalau aku tidak bisa menerima kenyataan ini?" tanya Raka, suaranya penuh kebingungan.

Sekar menggenggam tangan Raka erat, seolah memberikan kekuatan terakhir. "Aku tahu ini berat, Raka. Tapi... kau harus melepaskan. Untukmu, untukku, dan untuk kita."

Raka menundukkan kepala, berjuang untuk mengontrol emosinya. "Aku seharusnya tahu sejak awal... bahwa aku akan menyakitimu. Aku tidak tahu apa yang aku inginkan. Tapi satu hal yang pasti, aku tidak ingin hidup seperti ini lagi."

Sekar menyeka air mata yang jatuh. "Kau masih bisa memilih jalanmu, Raka. Jangan biarkan penyesalan itu menguasaimu. Cinta kita mungkin sudah mati, tapi kau masih bisa hidup dengan lebih baik."

"Aku ingin... mencoba, Sekar," kata Raka, suaranya sedikit lebih lembut. "Aku ingin mencari jalan keluar dari kesalahan yang aku buat."

"Dan aku akan berusaha untuk itu, meskipun kita harus berpisah," jawab Sekar, senyum tipis muncul di wajahnya. "Mungkin ini adalah cara terbaik untuk kita berdua. Menyembuhkan luka."

Raka menatapnya dengan mata penuh kesedihan. “Aku tidak pernah benar-benar mencintaimu, Sekar. Aku tahu itu sekarang. Maafkan aku.”

Sekar mengangguk, air matanya mengalir tanpa bisa ditahan. "Tidak perlu maaf, Raka. Aku hanya berharap kau bisa menemukan kebahagiaan. Bahkan tanpa aku."

Mereka saling berpandangan, saat itu rasa sakit, cinta, dan penyesalan menyatu dalam sepi yang tak bisa diungkapkan kata-kata. Saat terakhir itu, keduanya tahu bahwa mereka harus mengucapkan selamat tinggal.


---

Bab 2: Akhir yang Tersisa

Sekar berjalan meninggalkan rumah itu, langkahnya terasa berat, namun lebih ringan daripada sebelumnya. Raka menatap punggungnya yang semakin menjauh, merasa sebuah bagian dari dirinya ikut menghilang. Namun di dalam hatinya, ia tahu bahwa perpisahan ini adalah jalan yang benar, meski penuh dengan rasa sakit.

"Terkadang, kita harus mengubur sesuatu yang kita cintai agar bisa hidup kembali," bisik Raka pada dirinya sendiri.

Dan meskipun ada kenangan yang tak akan pernah pudar, ia tahu bahwa cinta yang telah hilang itu akhirnya mendapatkan kedamaian yang seharusnya. R.I.P. cinta.


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...