Tetes hujan merintih ditengah kangen ku, jika usai hujan di senja ini,

ku berharap pelangi dihadirkan oleh Tuhanku, untuk mengobati rindu yang semakin meronta diujung kalbu.

Wednesday, November 13, 2024

Elsa



"Sebenarnya aku tahu, hanya saja aku berpura-pura tidak tahu," ucap Elsa sambil tersenyum tipis, seolah ada rahasia besar yang ia sembunyikan di balik senyum itu. "Jujur saja, aku bukan berasal dari sini. Jauh, di ujung galaksi, ada sebuah planet yang menjadi rumah asliku."

Aku terdiam, mencoba menangkap setiap kata yang ia ucapkan. Tatapan matanya terasa dalam, seakan menembus jiwaku. 

"Sekarang aku sedang memperbaiki diri," lanjutnya dengan nada lembut. "Ke arah yang lebih baik, tentu saja." Dia melirik langit malam yang berwarna kelam. "Kadang-kadang, langit terlihat seperti lembaran kosong, tapi sebenarnya tidak begitu. Bintang-bintang itu ada di sana, diam tanpa bicara, sementara bumi ini terus berputar."

Senyum tipis di wajahnya muncul kembali saat ia menatapku, lalu menyeruput kopi tubruk di hadapannya. “Orang-orang datang dan pergi dalam hidup kita, jadi belajarlah untuk menerima dan terbiasa dengan itu.” Matanya masih menatapku lekat. "Kamu siap, Dul?"

Aku mengangguk pelan, meski sejujurnya ada perasaan ragu yang menggelayuti hatiku. 

Tiba-tiba, Elsa mengulurkan tangannya ke dalam tas kecil di sampingnya. Ia mengeluarkan sebuah batu permata yang berkilauan, lalu meletakkannya di atas meja dengan perlahan. "Batu permata ini... adalah buktinya, Dul," ujarnya lirih namun pasti.

Aku memperhatikan kilau batu itu, terpesona dan sekaligus merasa ada sesuatu yang tak biasa. Apakah ini benar-benar batu dari planet yang ia sebutkan? Keraguan menyelinap di hatiku, tapi saat aku menatap mata Elsa lagi—mata biru yang jernih seperti kristal, menatapku tanpa goyah—aku merasakan keyakinan yang sulit dijelaskan.

"Ini satu-satunya bukti yang bisa kutunjukkan saat ini," katanya dengan nada penuh misteri. "Terserah kamu mau percaya atau tidak. Aku sudah mengatakan semua yang perlu kamu dengar."

Aku menatapnya lebih dalam, berusaha mencari celah kebohongan di sana. Namun, mata itu terlalu bening, terlalu tenang. Tidak ada tanda-tanda kepalsuan.

"Aku..." suaraku keluar pelan. "Jadi, aku harus bagaimana?"

Elsa hanya tersenyum, kali ini dengan senyum yang tak dapat kutafsirkan. "Percaya pada yang tak terlihat, Dul," bisiknya. "Itu satu-satunya jalan."

Senyumannya, tatapan matanya, dan batu permata itu... semuanya menyisakan tanda tanya yang menggantung di udara, seperti misteri yang belum terpecahkan.

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...