Tetes hujan merintih ditengah kangen ku, jika usai hujan di senja ini,

ku berharap pelangi dihadirkan oleh Tuhanku, untuk mengobati rindu yang semakin meronta diujung kalbu.

Sunday, December 1, 2024

Prahara di Kerajaan Jagat Bayu yang Adikara

Senja jatuh perlahan di taman istana Kerajaan Jagat Bayu. Di bawah pohon beringin tua yang menjulang, Pangeran Arjuna Wijaya duduk termenung. Tatapannya kosong menembus cakrawala yang memerah. Angin sore membawa wangi melati, namun tidak mampu menenangkan kegelisahannya.  

Arjuna mengepal tangannya erat, berbisik pada dirinya sendiri, *“Mentari… mengapa kau begitu dekat, namun begitu mustahil kugapai? Aku hanya ingin kita bersama. Apakah itu dosa?”*  

Langkah kaki ringan terdengar mendekat. Patih Jati Kusuma, penasihat kepercayaannya, muncul dari balik pepohonan. Dengan senyum yang licik tetapi penuh hormat, ia membungkuk.  

“Paduka, wajah murammu ini membuat langit turut bersedih. Ada apa gerangan yang membebani hati paduka?” tanya Patih.  

“Patih,” desah Arjuna, “aku mencintai Putri Mentari, tetapi dunia melawan kami. Ayahandanya, Raja Dirgantara, mengancam akan menghancurkan kerajaan ini jika aku terus mendekatinya. Aku terjebak dalam takdir yang kejam. Haruskah aku menyerah?”  

Patih mendekat, tatapannya tajam penuh tipu daya. “Tuanku, cinta adalah medan perang yang harus dimenangkan oleh keberanian. Jika paduka menyerah, dunia akan menertawakanmu. Namun, jika paduka bertahan, sejarah akan mencatatmu sebagai pahlawan cinta.”  

Arjuna terdiam. Kata-kata Patih seperti menyiram bara dalam hatinya. “Apa yang harus kulakukan, Patih?”  

“Biarkan aku menyusun siasat,” ujar Patih dengan nada penuh keyakinan. “Aku akan membuat Raja Dirgantara percaya bahwa paduka tak lagi peduli pada putrinya. Sementara itu, malam ini aku akan mengatur pertemuan rahasia di taman istana. Di bawah pohon ini, paduka bisa berbicara langsung dengan Putri Mentari.”  

Arjuna mengangguk. Harapan yang sempat pudar kini kembali menyala.  
-
-

Di istana Kerajaan Langit Biru, Putri Mentari berdiri di balkon kamarnya. Matanya tertuju pada bulan yang menggantung di langit, wajahnya sendu.  

“Oh, Rembulan,” bisiknya, “kau yang melihat segalanya, apakah Arjuna masih menyebut namaku dalam doa-doanya? Aku merindunya, tapi tak ada yang bisa kulakukan. Dunia ini terlalu kejam untuk cinta kami.”  

Langkah lembut mengganggu kesunyiannya. Permaisuri Candra, ibu Arjuna, muncul membawa sepucuk surat.  

“Anakku,” ujar Permaisuri dengan suara lembut, “aku membawa pesan dari Jagat Bayu. Ini dari Arjuna. Bacalah, tapi jangan biarkan siapa pun tahu.”  

Mentari menerima surat itu dengan tangan gemetar. Dengan hati-hati, ia membuka gulungan kecil itu. Kata-kata Arjuna menembus hatinya.  

“Malam ini, di bawah pohon beringin tua. Datanglah, wahai Mentari. Aku menunggu untuk menyelamatkan cinta kita.”  

Mentari memandang Permaisuri dengan mata berkaca-kaca. “Ibu, apakah mungkin cinta kami melawan segalanya?”  

Permaisuri menghela napas panjang. “Cinta, anakku, adalah api yang membakar. Jika kau biarkan, ia bisa menghanguskan segalanya. Pergilah, tetapi hati-hati. Dunia ini tidak selalu berpihak pada cinta sejati.”  
-
-
Tengah malam, di bawah pohon beringin tua, Arjuna menunggu dengan gelisah. Denting gamelan dari kejauhan terdengar samar, mengisi malam dengan suasana yang magis. Mentari akhirnya muncul, mengenakan kerudung putih. Langkahnya ragu-ragu, tetapi matanya penuh kerinduan.  

“Mentari,” seru Arjuna dengan lembut. “Kau datang. Oh, betapa malam ini menjadi terang karenamu.”  

“Aku takut, Arjuna,” ujar Mentari dengan suara bergetar. “Ayahku mencium niat kita. Ia telah menyiapkan pasukan untuk menangkapmu. Aku tak ingin kau terluka.”  

Arjuna menggenggam tangannya erat. “Takdir mungkin berusaha memisahkan kita, tetapi aku akan melawan. Mari kita pergi, Mentari. Kita akan mencari tempat di mana cinta kita tidak bisa dijamah oleh dunia.”  

Mentari menatapnya dengan mata penuh kekhawatiran. “Tapi bagaimana jika cinta ini membawa kehancuran bagi kerajaanmu? Aku tak ingin menjadi alasan penderitaan rakyatmu.”  

Tiba-tiba, suara langkah pasukan terdengar mendekat. Mentari tersentak. Dari kegelapan, Raja Dirgantara muncul bersama prajurit-prajuritnya.  

“Hentikan!” seru Raja Dirgantara dengan suara lantang. “Cinta ini hanyalah mimpi, Arjuna. Putriku bukan milikmu.”  

Arjuna berdiri tegak, mencabut keris dari pinggangnya. “Kau mungkin menganggap cinta kami sebagai kesalahan, tetapi aku tidak akan menyerah. Jika aku tidak bisa hidup bersamanya, maka biarkan aku mati bersamanya.”  

Pasukan Raja Dirgantara menyerang. Dalam kekacauan itu, sebuah panah melesat tanpa arah, dan mengenai Mentari. Ia terjatuh dalam pelukan Arjuna.  

“Mentari!” Arjuna menjerit, menatap darah yang mengalir dari tubuh kekasihnya.  

Dengan senyum lemah, Mentari berbisik, “Arjuna… kita seperti Matahari dan Rembulan. Selalu berkejaran, tetapi tak pernah bersatu. Maafkan aku…”  

Napasnya terhenti. Arjuna memeluk tubuh Mentari yang tak lagi bernyawa. Dunia seakan berhenti, hanya kesunyian yang tersisa.  

Arjuna menatap Raja Dirgantara dengan mata penuh dendam dan kesedihan. “Jika dunia ini tidak memberikan ruang untuk cinta kami, maka aku akan bergabung dengannya di dunia lain.”  

Tanpa ragu, ia menusukkan keris ke dadanya sendiri. Ia terjatuh di samping Mentari, tangannya menggenggam tangan kekasihnya yang dingin.  

Raja Dirgantara terjatuh berlutut, wajahnya diliputi penyesalan. “Apakah ini harga dari kesombonganku? Dua nyawa melayang karena aku tidak mampu memahami cinta mereka.”  

Malam itu, di bawah pohon beringin tua, cinta yang terlarang menemukan kebebasan dalam kematian. Angin membawa keheningan yang abadi, menjadi saksi bisu dari tragedi yang tak terlupakan.  

TAMAT.

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...