Hari itu hujan turun dengan deras. Aku duduk di pojok kafe favoritku, menunggu kopi yang kupesan sambil menatap tetesan air di jendela. Di seberang meja, kamu duduk dengan senyum khasmu, seperti biasa, menceritakan sesuatu yang membuat matamu berbinar.
"Jadi, menurutmu aku harus ngomong langsung ke dia atau nunggu momen yang pas?" tanyamu, menatapku penuh harap.
Aku tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan detak jantungku yang tiba-tiba terasa kencang. "Kalau kamu nunggu momen yang pas, mungkin kamu bakal nunggu selamanya. Lebih baik langsung aja."
Kamu mengangguk. "Kamu benar. Tapi gimana kalau dia nggak suka aku balik?"
Aku ingin menjawab, "Mungkin dia nggak suka kamu, tapi aku suka," tapi kata-kata itu hanya tertahan di tenggorokanku. Sebagai gantinya, aku berkata, "Kalau nggak dicoba, kamu nggak akan tahu, kan?"
Kopi pesananku datang, dan aku mengalihkan pandangan ke gelas itu untuk menyembunyikan perasaanku. Sudah berbulan-bulan aku menyimpan rasa ini. Kamu, sahabatku sejak kecil, orang yang paling mengerti aku. Tapi sekarang, kamu jatuh cinta pada seseorang yang bukan aku.
"Kamu memang sahabat terbaik," katamu, tersenyum tulus. "Kalau aku berhasil nanti, aku akan traktir kamu makan malam. Deal?"
Aku tersenyum tipis. "Deal."
Setelah itu, obrolan kami berlanjut seperti biasa, tentang hal-hal sepele, tentang mimpi-mimpi, dan tentang segala sesuatu yang membuatku semakin jatuh cinta padamu. Tapi aku tahu, perasaan ini tak akan pernah sampai ke hatimu.
Malam itu, saat aku pulang ke rumah, aku membuka ponsel dan melihat pesan darimu.
"Dia bilang iya! Aku berhasil! Terima kasih atas dukunganmu selama ini."
Aku menatap layar itu lama, lalu tersenyum kecil.
"Aku suka kamu, kamu suka dia," gumamku pelan. "Semoga kamu bahagia, ya."
Dengan hati yang berat, aku mengetik balasan.
"Selamat, aku ikut bahagia untuk kamu."
Dan untuk pertama kalinya, aku menyadari, mungkin cinta yang sejati adalah ketika kita rela melihat orang yang kita cintai bahagia, meskipun bukan bersama kita. :)
No comments:
Post a Comment