Langit senja di Kerajaan Langit Biru memancarkan semburat jingga keemasan, membingkai wajah Raja Surya Dirgantara yang tengah termenung di meja kerjanya. Di hadapannya, selembar kertas kosong menunggu disentuh oleh pena. Tangannya bergetar, bukan karena takut, melainkan karena beban masa lalu yang terus menghantui.
Ia adalah adik dari Putri Mentari, wanita yang pernah menjadi lambang cahaya dan kehangatan di kerajaan. Tragedi yang merenggut nyawa Mentari dan Pangeran Arjuna telah meninggalkan luka yang tak tersembuhkan. Meski sudah bertahun-tahun berlalu, bayangan mereka berdua masih hidup di sudut-sudut istana, dalam cerita rakyat, dan dalam ingatannya.
Surya menghela napas panjang, lalu mulai menulis.
---
“Kepada Mentari, Kakakku Tercinta,”
"Izinkan aku menuliskan kisah ini, sebuah kisah yang pernah terjadi antara kita, sebuah kisah sedih yang memang seharusnya kita alami dan begitu juga harus kita akhiri.
Kalimat pertama, izinkan aku meminta maaf padamu, padanya, dan pada mereka. Untuk semua yang terjadi, telah terjadi, dan mungkin akan terjadi karena kesalahan ini.
Aku adalah adikmu yang kau banggakan, Mentari. Kau selalu menyebutku Surya kecil, si pemimpi, yang bercita-cita tinggi namun sering lupa akan dunia di sekitarnya. Tapi aku gagal menjadi pelindungmu. Aku gagal melihat cintamu yang begitu besar untuk Arjuna, pria dari kerajaan lain yang seharusnya menjadi musuh, tetapi kau anggap sebagai belahan jiwamu.
Aku ingat hari itu dengan jelas, Mentari. Hari ketika kau pergi untuk bertemu dengannya di bawah pohon beringin tua, saat aku memimpin pasukan Ayah melawan cinta kalian. Kau bilang, cinta tidak butuh restu dunia, tetapi aku tidak mendengarkan. Aku hanya melihatmu sebagai ancaman bagi kehormatan kerajaan kita.
Dan akhirnya, aku yang mengantar kematianmu, dan kematiannya. Kakakku, aku yang membuat langit kerajaan ini kehilangan cahayanya.
Sayangku, izinkan aku menuliskan kisah ini, hanya kali ini, dan untuk hari ini saja. Besok bukan waktu yang tepat, apalagi lusa, atau kemudian hari. Luka begitu lebar untuk kututupi, darahnya begitu deras mengalir yang tak sanggup ku hentikan.
Aku tahu kau dan Arjuna kini menjadi legenda, Mentari. Lagu tentang kalian dinyanyikan di pasar-pasar, dan kisah kalian diceritakan oleh para penjaja cerita. Namun di balik semua itu, ada aku—pria yang harus hidup dengan dosa-dosa ini. Kau mungkin telah menemukan kedamaianmu di alam sana, tetapi aku masih terjebak di sini, di antara istana yang megah namun penuh kehampaan.
Hanya sebuah kisah pendek, tidak panjang, dan tidak akan menghabiskan lembar-lembar sejarah hidupmu. Hanya tentang aku, kau, dan dia. Kisah kita. Kisah tentang sepi, perih, dan juga (mungkin) tawa bahagia. Entahlah…
Demikianlah, sayangku, aku tak sanggup lagi menulis. Simpan surat ini baik-baik, jangan kau beritahu mereka, cukup kita yang tahu. Salam sayang selalu untukmu.
Aku, Surya Dirgantara.”
---
Surya meletakkan penanya. Matanya berkaca-kaca, namun ia tidak menangis. Ia tahu air mata tidak akan mengubah apa pun. Ia melipat surat itu dengan hati-hati dan menyimpannya dalam peti kecil yang dihiasi ukiran bunga melati, bunga favorit Mentari.
Sebelum meninggalkan ruangan, Surya melangkah ke balkon. Ia memandang ke arah pohon beringin tua di kejauhan, tempat di mana cinta dan tragedi itu bermula.
“Mentari, Arjuna,” gumamnya pelan, “izinkan aku membawa cerita kalian dalam hidupku, sebagai pengingat bahwa cinta sejati tidak pernah benar-benar hilang, meskipun dunia mencoba memisahkannya.”
Malam itu, langit di atas Kerajaan Langit Biru tampak lebih tenang. Seolah-olah Mentari dan Arjuna tengah tersenyum dari atas sana, memberi restu pada Surya yang mencoba menebus dosanya melalui kata-kata.
No comments:
Post a Comment