Bab 1: Lancang Kuning dan Kerajaan Bukit Batu.
Di bawah langit lembayung senja, Desa Bukit Batu berdiri dengan kokoh sebagai pusat kejayaan Kerajaan Riau. Di antara desau angin laut dan alunan gelombang, Lancang Kuning menjadi simbol kebesaran yang diagungkan rakyat. Sebuah kapal megah dengan layar berwarna kuning emas, lambang kebesaran raja. Datuk Laksmana, penguasa kerajaan itu, dihormati karena kebijaksanaannya yang memimpin rakyat dengan keadilan.
Di sisinya, ada dua panglima yang setia, Panglima Umar dan Panglima Hasan. Keduanya dikenal sebagai prajurit tangguh, namun karakter mereka sangat berbeda. Umar, dengan keteguhan hatinya, menjadi penegak keadilan yang dipercaya penuh oleh Datuk Laksmana. Sementara Hasan, licik dan ambisius, menyimpan hasrat tersembunyi yang perlahan menggerogoti jiwanya.
Bab 2: Cinta yang Terbelah.
Umar jatuh hati pada Zubaidah, gadis cantik dari kalangan rakyat jelata yang dikenal karena kelembutan dan kesetiaannya. Dengan restu Datuk Laksmana, pesta pernikahan besar pun diadakan. Namun, di tengah gemerlap kebahagiaan itu, hati Hasan remuk. Ia menyimpan cinta yang tak pernah diutarakan kepada Zubaidah.
“Takdir ini tak adil,” bisik Hasan kepada dirinya sendiri. “Jika Umar yang memilikinya, aku akan merebutnya, meski dengan darah sekalipun.”
Bab 3: Konspirasi di Balik Lancang Kuning.
Hasan menyusun siasat licik. Ia mendekati Pawang Domo, seorang peramal yang dipercaya rakyat. Dengan akalnya, ia membuat Pawang Domo bermimpi bahwa kerajaan harus membangun Lancang Kuning demi melindungi perairan dari serangan lanun. Mendengar mimpi itu, Datuk Laksmana tanpa ragu memerintahkan pembangunan kapal megah tersebut.
Namun, ketika kapal hampir selesai, sebuah kabar datang bahwa Bathin Sanggoro, pemimpin desa tetangga, melarang nelayan Bukit Batu mencari ikan di perairan Tanjung Jati. Datuk Laksmana memerintahkan Umar untuk menyelesaikan masalah ini. Meski hatinya berat meninggalkan Zubaidah yang tengah hamil tua, Umar menerima tugas itu dengan kesetiaan penuh.
Bab 4: Malam Purnama dan Pengorbanan.
Di malam peluncuran Lancang Kuning, rakyat berkumpul di pelabuhan. Musik, tarian, dan lentera mengiringi suasana yang semarak. Namun, saat kapal didorong ke laut, ia tak bergerak sedikit pun. Suara gemuruh rakyat berganti bisik-bisik cemas.
“Pawang, apa yang terjadi?” tanya Datuk Laksmana dengan wajah penuh tanya.
Pawang Domo menunduk dalam-dalam, lalu berkata, “Hamba menerima petunjuk. Agar Lancang Kuning bergerak, harus ada pengorbanan. Seorang perempuan hamil anak pertama harus dipersembahkan.”
Datuk Laksmana terdiam. Ia tahu siapa yang dimaksud: Zubaidah, istri Umar. Dengan berat hati, ia menunda peluncuran, mencari solusi lain.
Bab 5: Pengkhianatan yang Mengoyak Hati.
Saat Umar pergi, Hasan memanfaatkan kesempatan untuk mendekati Zubaidah. Di malam yang sunyi, ia menyelinap ke kediaman Zubaidah. “Tinggalkan Umar. Aku bisa memberikanmu segalanya,” bisik Hasan dengan nada licik.
Namun Zubaidah, meski ketakutan, menolak tegas. “Aku adalah istri Umar, dan hanya dia yang aku cintai. Pergilah, Hasan. Jangan kotori kehormatan ini!”
Penolakan itu membakar emosi Hasan. Harga dirinya terluka, dan ia bersumpah akan membalas dendam.
Bab 6: Akhir yang Tragis
Umar kembali, membawa kabar baik bahwa masalah dengan Bathin Sanggoro hanyalah kesalahpahaman. Namun ia tak tahu bahwa di belakangnya, Hasan telah merencanakan kejatuhannya.
Di malam peluncuran kedua Lancang Kuning, ketika Umar dan Zubaidah hadir di pelabuhan, Hasan memfitnah Umar dengan tuduhan pemberontakan. Pertempuran terjadi. Dalam kegaduhan itu, Zubaidah yang mencoba melindungi Umar terjatuh, dan hidupnya terenggut bersama anak dalam kandungannya.
Umar hancur. Di depan Lancang Kuning yang kini terapung megah di laut, ia bersumpah tidak akan kembali ke Bukit Batu. Ia menghilang, membawa luka yang tak terobati. Hasan, meski berhasil menyingkirkan Zubaidah, justru dihukum oleh rakyat setelah fitnahnya terbongkar.
Lancang Kuning, kapal kebesaran itu, tetap menjadi lambang kejayaan Riau, tetapi juga menyimpan kisah cinta, pengkhianatan, dan pengorbanan yang tak pernah dilupakan.
No comments:
Post a Comment