“Tuah,” katanya dengan suara yang nyaris tenggelam dalam riuh rendah pesta, namun cukup keras untuk didengar oleh sahabat lamanya. “Kita mungkin akan berbeda pandangan, tapi aku berharap kau tetap melihatku sebagai saudaramu.”
Tuah tidak segera menjawab. Dia hanya menatap Jebat, mencoba mencari sesuatu dalam sorot mata sahabatnya. Namun, yang dia temukan hanyalah tekad yang tak tergoyahkan. “Jebat, jalan yang kau pilih adalah jalan yang penuh bahaya. Kau tahu itu,” jawabnya akhirnya.
Jebat tersenyum tipis, namun senyuman itu tak lagi hangat. “Bahaya adalah harga yang harus dibayar untuk perubahan, Tuah. Aku tahu apa yang kulakukan, dan aku siap menghadapi konsekuensinya.”
***
Di luar balai besar, bayangan gelap menyusup di antara pohon-pohon yang mengelilingi Bukit Batu. Pasukan bayangan dari Malaka, yang dipimpin oleh Laksamana Syahbandar, telah tiba tanpa suara. Mata-mata mereka melaporkan bahwa pesta kemenangan sedang berlangsung, dan penjagaan sedikit lengah. Syahbandar, yang terkenal akan kecerdikannya, melihat ini sebagai kesempatan emas untuk menyerang.
“Siapkan pasukan. Tunggu aba-aba dariku,” bisiknya kepada salah satu pengawal setianya. “Kita akan menyerang saat mereka lengah.”
Namun, Hang Tuah yang peka terhadap perubahan suasana, tiba-tiba merasa sesuatu tidak beres. Tatapannya mengarah ke pintu balai besar. “Jebat,” katanya perlahan. “Aku merasa ada yang tidak beres. Kau merasakannya?”
Jebat mengerutkan kening. Dia mengangguk perlahan. “Ya, Tuah. Aku juga merasakannya. Seperti… keheningan sebelum badai.”
Belum sempat mereka bertindak, terdengar suara jeritan dari luar. Pintu balai besar tiba-tiba terbuka, dan seorang prajurit yang terluka berlari masuk, darah mengalir deras dari bahunya. “Serangan! Pasukan Malaka menyerang!”
Pesta yang semula riuh seketika berubah menjadi kekacauan. Para prajurit Bukit Batu dengan cepat meraih senjata mereka, sementara para wanita dan anak-anak berlindung di sudut-sudut ruangan. Hang Jebat dan Hang Tuah saling bertukar pandang. Untuk pertama kalinya malam itu, mereka berdiri di sisi yang sama.
“Jebat,” kata Tuah tegas. “Aku akan menghadapi pasukan depan. Kau urus pertahanan dalam balai ini. Jangan biarkan rakyat tak bersenjata terluka.”
Jebat tersenyum tipis, tetapi kali ini ada rasa hormat dalam pandangannya. “Baik, Tuah. Tapi ingat, jangan mati terlalu cepat. Aku masih ingin menyelesaikan diskusi kita.”
Tuah mengangguk singkat sebelum bergegas ke luar. Di bawah langit yang kini mulai hujan, dia menghadapi barisan pasukan Malaka yang bergerak maju. Dengan pedang di tangannya, dia menyerang seperti angin badai, memotong setiap ancaman yang mendekat. Pasukan Malaka, meski terlatih, kesulitan menghadapi kecepatan dan keahlian Tuah yang legendaris.
Di dalam balai, Jebat memimpin pertahanan dengan penuh kecerdikan. Dia memerintahkan para prajurit untuk membuat barikade darurat, sementara dia sendiri berdiri di garis depan. Dengan kerisnya, dia menghalau setiap musuh yang mencoba masuk.
Namun, pertarungan itu tidak mudah. Syahbandar sendiri akhirnya maju ke medan laga, membawa serta prajurit elitnya. Dalam pertempuran sengit yang penuh darah dan teriakan, akhirnya Syahbandar dan Tuah berhadapan.
“Hang Tuah,” ujar Syahbandar dengan senyum sinis. “Pahlawan Malaka, kini kau melindungi musuh kerajaanmu. Betapa ironis.”
Tuah hanya menjawab dengan tebasan cepat, yang nyaris mengenai leher Syahbandar. Pertarungan mereka menjadi inti dari pertempuran malam itu, dua pendekar hebat saling menguji batas kemampuan mereka. Di sisi lain, Jebat juga menghadapi musuh-musuhnya dengan keberanian yang tak tergoyahkan.
Malam itu, darah mengalir di tanah Bukit Batu. Namun, di tengah kekacauan, ada satu hal yang jelas—Hang Tuah dan Hang Jebat, meski berbeda pandangan, tetap berdiri sebagai pejuang yang tak kenal takut. Perjuangan mereka bukan hanya soal kemenangan, tetapi juga tentang mempertahankan nilai yang mereka percayai.
No comments:
Post a Comment