Tetes hujan merintih ditengah kangen ku, jika usai hujan di senja ini,

ku berharap pelangi dihadirkan oleh Tuhanku, untuk mengobati rindu yang semakin meronta diujung kalbu.

Wednesday, December 4, 2024

Hang Tuah di Bukit Batu: Mengenang Lancang Kuning


Angin sore berhembus lembut di Bukit Batu, membawa aroma asin dari laut yang terlihat samar di kejauhan. Hang Tuah, sosok legendaris yang namanya dikenang di seluruh Nusantara, berdiri tegap di puncak bukit itu. Matanya menatap ke cakrawala, di mana laut dan langit bertemu, seolah berbisik tentang masa lalu yang penuh gemuruh.  

Ia datang ke sini bukan sekadar untuk menikmati keindahan alam, melainkan untuk mengenang sejarah yang terukir dalam jiwa masyarakat Riau—kisah Lancang Kuning, kapal kebesaran yang menjadi simbol kejayaan sekaligus saksi bisu cinta, pengkhianatan, dan pengorbanan.  

Kenangan Kerajaan Bukit Batu  

Dalam keheningan, Hang Tuah membiarkan pikirannya melayang ke masa lampau, ketika Bukit Batu menjadi pusat kejayaan sebuah kerajaan maritim yang termasyhur. Di sinilah, Lancang Kuning dibangun dengan penuh kebanggaan. Kapal itu bukan sekadar alat transportasi, melainkan lambang kekuatan, martabat, dan harapan bangsa.  

Namun, di balik megahnya Lancang Kuning, terpendam kisah tragis. Nama Zubaidah, perempuan cantik yang menjadi simbol cinta tak tergapai, berbisik di hatinya. Kisah tentang pengorbanan Zubaidah, yang dipersembahkan untuk melancarkan pelayaran Lancang Kuning, membuat hati Hang Tuah terasa berat.  

“Zubaidah adalah jiwa dari kisah ini,” gumam Hang Tuah, memejamkan matanya, membayangkan wajah perempuan itu.  

Diceritakan bahwa Panglima Hasan, dalam ambisinya untuk kejayaan Lancang Kuning, mengorbankan Zubaidah. Ia memanfaatkan kepercayaan rakyat, bahkan mengkhianati cinta yang sebenarnya ia miliki untuk perempuan itu. Persembahan berdarah itu meluncurkan Lancang Kuning ke laut, namun mengundang badai besar dalam kehidupan kerajaan.  

Panglima Umar, yang mencintai Zubaidah, kembali dari perjalanan hanya untuk menemukan kenyataan pahit. Dengan amarah yang membara, ia menyerang Datuk Laksmana, yang difitnah oleh Panglima Hasan sebagai dalang pengorbanan itu. Nyawa tak bersalah melayang, dan akhirnya kebenaran pun terungkap.  

Di atas Lancang Kuning, pertarungan terakhir antara Panglima Umar dan Panglima Hasan terjadi. Darah tumpah lagi di atas kapal itu, hingga Hasan tewas ditikam dan tubuhnya jatuh ke laut. Namun, pelayaran Lancang Kuning berakhir tragis. Badai menghantam kapal itu, dan ia karam bersama seluruh rahasia dan dosa yang dibawanya, tenggelam ke dasar laut Tanjung Jati.  

Pelajaran dari Masa Lalu  

Hang Tuah menarik napas panjang. Baginya, kisah itu bukan sekadar cerita sedih, tetapi juga sebuah pelajaran berharga. Lancang Kuning, meski menjadi simbol kebanggaan, juga mengingatkan bahwa ambisi tanpa moral akan membawa kehancuran.  

“Bukan kapal atau kejayaan yang abadi,” kata Hang Tuah pelan. “Tetapi nilai-nilai luhur yang kita tanamkan dalam setiap tindakan.”  

Ia menoleh ke arah penduduk yang kini menjaga Bukit Batu, warisan nenek moyang mereka. Kapal Lancang Kuning mungkin telah tenggelam, tetapi semangatnya tetap hidup dalam jiwa rakyat Riau.  

Dengan langkah mantap, Hang Tuah meninggalkan Bukit Batu, membawa kembali cerita itu ke dalam hatinya. Ia tahu, kisah Lancang Kuning akan terus diceritakan, bukan hanya sebagai simbol kebesaran, tetapi juga sebagai peringatan tentang cinta, pengkhianatan, dan pengorbanan yang tak pernah lekang oleh waktu.  

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...