Hang Tuah tiba di sebuah kerajaan kecil di utara Sumatra, di Lemuri Tengah tempat legenda Putri Pukes berakar. Ketenarannya sebagai panglima yang bijaksana dan ahli strategi menarik perhatian Raja, yang memintanya membimbing dua putri kerajaan, Cut Caya dan Cut Cani, dalam mempelajari seluk-beluk pemerintahan.
Mereka bertemu di sebuah aula megah, namun suasananya sederhana. Cut Caya, si kakak, menunjukkan sikap penuh wibawa meski masih muda. Sedangkan Cut Cani, sang adik, memiliki kelembutan yang memikat hati siapa pun yang bertemu dengannya. Hang Tuah tersenyum ramah, menyadari bahwa tugas ini lebih dari sekadar mengajarkan strategi pemerintahan—ia harus membantu mereka menemukan keseimbangan antara kekuatan dan kebaikan.
Belajar dari Rakyat
Hang Tuah segera membawa mereka keluar dari istana. “Jika kalian ingin memimpin, kalian harus memahami suara rakyat. Pemerintahan bukan hanya tentang takhta, tetapi tentang melayani mereka yang memerlukan.”
Mereka mulai mengunjungi desa-desa terpencil. Di sana, Cut Caya dan Cut Cani melihat langsung kehidupan rakyat. Mereka belajar tentang tantangan petani menghadapi musim panen yang sulit, para nelayan yang bergulat dengan ombak, dan para ibu yang merawat anak-anak dengan penuh kasih sayang meski hidup serba kekurangan.
Di sebuah desa kecil, mereka bertemu seorang nenek tua yang memintal benang. Nenek itu bercerita tentang Putri Pukes, leluhur mereka, yang mencintai tanah kelahirannya begitu dalam hingga rela meninggalkan segala kemewahan demi rakyatnya.
“Ketika Putri Pukes kembali ke sini, ia berdiri di atas batu itu, menangis karena rindunya pada tanah ini. Air matanya adalah doa, dan doanya menjadi berkah untuk kita semua,” kata si nenek sambil menunjuk sebuah batu besar di tepi sungai.
Cerita itu menggugah hati Cut Caya dan Cut Cani. Mereka sadar bahwa cinta kepada negeri harus diwujudkan dalam tindakan nyata, bukan hanya janji.
Kepemimpinan yang Bijaksana
Di bawah bimbingan Hang Tuah, Cut Caya dan Cut Cani mulai merancang kebijakan baru. Mereka membangun saluran irigasi untuk petani, memperbaiki pelabuhan untuk nelayan, dan menyediakan pasar bagi rakyat kecil untuk menjual hasil bumi mereka.
Meski sering berbeda pandangan, persahabatan mereka tetap kokoh. Ketika Cut Caya ingin mempercepat pembangunan tanpa mempertimbangkan anggaran, Cut Cani mengingatkan pentingnya kehati-hatian. Sebaliknya, ketika Cut Cani terlalu terfokus pada detail kecil, Cut Caya mendorongnya untuk melihat gambaran besar.
Hang Tuah mengamati dinamika itu dengan bangga. “Keseimbangan kalian adalah kekuatan terbesar. Saling melengkapi seperti ini adalah inti dari kepemimpinan yang baik,” katanya.
Warisan Putri Pukes
Di bawah kepemimpinan Cut Caya dan Cut Cani, kerajaan kecil itu berkembang menjadi tanah yang makmur. Rakyatnya hidup sejahtera, dan keadilan menjadi prinsip utama. Mereka memastikan bahwa setiap kebijakan berpihak pada rakyat, menghindari keserakahan, dan menjaga kearifan lokal.
Batu tempat Putri Pukes menangis di tepi sungai kini menjadi tempat ziarah. Setiap tahun, rakyat berkumpul di sana, berdoa dan mengenang kisah cinta Putri Pukes kepada tanah kelahirannya.
Hang Tuah, yang akhirnya harus melanjutkan perjalanannya, meninggalkan kerajaan itu dengan hati lega. Sebelum pergi, ia berkata kepada Cut Caya dan Cut Cani, “Cinta dan pengorbanan yang diwariskan Putri Pukes kini ada di tangan kalian. Jagalah persahabatan ini, dan jadilah pemimpin yang dirindukan oleh rakyat.”
Pesan Legenda
Kisah Putri Pukes, Cut Caya, dan Cut Cani mengajarkan bahwa cinta kepada negeri tak hanya diwujudkan melalui kata-kata, tetapi melalui tindakan nyata yang membawa kebaikan bagi sesama. Persahabatan dan keberanian untuk menjaga keadilan adalah warisan yang akan terus hidup, melampaui waktu dan generasi.
Dalam hati rakyat, nama mereka akan terus dikenang, seperti air mata yang mengalir dari batu Putri Pukes, membawa berkah dan harapan yang tak pernah pudar.
No comments:
Post a Comment