Tetes hujan merintih ditengah kangen ku, jika usai hujan di senja ini,

ku berharap pelangi dihadirkan oleh Tuhanku, untuk mengobati rindu yang semakin meronta diujung kalbu.

Monday, December 16, 2024

Ken Dedes 1 : Bayangan di Bawah Pohon Beringin


Cahaya rembulan menari-nari di antara dedaunan pohon beringin tua. Ken Dedes, dengan tubuh yang dibalut kain putih sederhana, duduk termenung di bawahnya. Angin malam membelai rambutnya yang hitam legam, membawa serta aroma tanah basah dan dedaunan kering. Matanya yang besar dan bulat menatap langit, seolah mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang tak terucapkan.

“Wahyu keraton...” gumamnya pelan, suaranya seakan larut dalam gemericik air sungai yang mengalir tak jauh dari sana. Kata-kata itu membayang di pikirannya, berputar seperti pusaran air yang tak kunjung reda.

Ia mengingat suara berat ayahnya, Resi Panembahan, ketika pertama kali mendengar ramalan itu.
“Dedes, kau adalah wahyu itu. Cahaya dari tubuhmu akan menjadi tanda, namun cahaya itu akan mengundang banyak bayangan kelam. Takdirmu akan mengubah dunia, tapi jalanmu tidak akan mudah.”

Ken Dedes menggeleng pelan, mencoba mengusir beban itu dari pikirannya. Namun, ia tahu takdir itu melekat padanya seperti bayangan yang tak bisa dipisahkan.


---

Tiba-tiba, suara lembut namun tegas menyapa di antara keheningan malam.
“Kenapa kau menangis di bawah pohon ini?”

Ken Dedes tersentak, menoleh cepat. Berdiri di dekatnya seorang wanita tua dengan tongkat kayu di tangannya. Wajahnya dipenuhi kerutan, tapi matanya bersinar dengan kebijaksanaan yang dalam.

“Siapa Anda?” tanya Ken Dedes dengan waspada.

“Anggap saja aku hanya seorang pengembara,” jawab wanita tua itu dengan senyum misterius. Ia mendekat, duduk di samping Ken Dedes. “Tapi aku tahu beban di hatimu lebih berat daripada pohon beringin ini.”

Ken Dedes terdiam sejenak. “Jika kau tahu, maka kau pasti paham betapa beratnya menjadi seseorang yang diharapkan untuk mengubah dunia. Aku hanyalah gadis desa yang tak memiliki kekuatan apa pun.”

Wanita itu tertawa pelan. “Kau salah, Nak. Kekuatanmu ada di dalam dirimu, tapi kau terlalu takut untuk mengakuinya. Pertanyaannya adalah, apakah kau akan melawan takdir, atau menghadapinya?”

“Melawan atau menghadapi...” Ken Dedes mengulang kata-kata itu pelan. “Bagaimana jika takdir itu adalah kutukan? Jika aku gagal, semua akan hancur.”

Wanita itu menatapnya dalam-dalam. “Setiap takdir adalah pedang bermata dua. Apakah kau memilih untuk memegang gagangnya dan bertarung, atau membiarkan mata pedangnya melukaimu?”


---


Setelah wanita itu pergi, Ken Dedes kembali termenung. Di dalam pikirannya, ia mendengar suara-suara yang tak pernah berhenti menggema: suara ayahnya, suara wanita tua itu, dan suara hatinya sendiri.

“Kenapa kau ragu, Dedes?” bisik batinnya.
“Karena aku takut.”
“Takut apa? Takut gagal? Takut menyakiti orang lain? Atau takut pada kekuatanmu sendiri?”

Pertanyaan itu menusuknya. Ia sadar, ketakutannya bukan hanya pada dunia luar, tetapi pada dirinya sendiri—pada kekuatan yang disadari namun tak ingin diakui.

“Apakah aku siap menjadi seseorang yang besar?” tanyanya pada bayangannya sendiri yang memantul samar di sungai. Namun, sungai itu hanya mengalir, seolah berkata bahwa waktu tidak akan menunggu jawabannya.


---


Beberapa malam kemudian, Ken Dedes dipanggil ke balai pertemuan Tumapel. Tunggul Ametung, penguasa Tumapel, menatapnya dengan mata yang tajam.

“Kau tahu kenapa aku memilihmu, Ken Dedes?” tanyanya tanpa basa-basi.

Ken Dedes menunduk, tak mampu menjawab.

“Kau adalah takdir,” lanjut Tunggul Ametung. “Ramalan ayahmu sudah sampai ke telingaku. Wahyu keraton ada padamu. Denganmu di sisiku, Tumapel akan menjadi kerajaan terbesar di tanah Jawa.”

“Tapi... apakah aku hanya alat bagimu, Tunggul Ametung?” tanya Ken Dedes, suaranya bergetar. Ia mengangkat wajah, menatap sang penguasa dengan mata yang penuh keraguan. “Apakah aku hanya sekadar simbol untuk ambisimu?”

Tunggul Ametung terdiam, lalu tersenyum samar. “Kau adalah lebih dari sekadar simbol, Ken Dedes. Kau adalah cahaya. Namun, cahaya itu harus dipandu, agar tidak tersesat.”

Kata-kata itu, meskipun tampak meyakinkan, hanya menambah keraguan di hati Ken Dedes.


---


Beberapa minggu berlalu, dan saat itu ia bertemu dengan Ken Arok, seorang lelaki dengan tatapan penuh ambisi. Pertemuan pertama mereka terjadi di pasar, di mana Ken Arok secara kebetulan melihat Ken Dedes dari kejauhan.

“Kau berbeda dari siapa pun yang pernah kulihat,” ujar Ken Arok ketika mereka akhirnya berbicara. “Ada cahaya di matamu, tapi juga bayangan yang mengikutinya.”

Ken Dedes merasa terguncang oleh kata-kata itu. “Dan siapa kau, hingga berani berbicara tentang cahayaku?”

“Aku hanya seorang yang ingin mengubah nasibnya sendiri,” jawab Ken Arok sambil tersenyum tipis. “Dan aku yakin, kau adalah bagian dari takdirku.”


---

Di antara dua pria itu—Tunggul Ametung yang melihatnya sebagai alat kekuasaan, dan Ken Arok yang memujanya sebagai simbol harapan—Ken Dedes mulai merasa terjebak.

Di bawah pohon beringin yang sama, ia kembali merenung. “Jika aku memilih salah satu dari mereka, apakah itu berarti aku mengkhianati takdirku? Ataukah takdirku justru ada di tangan mereka?”

Namun, malam itu, ia mendengar suara lembut dari hatinya sendiri. “Takdirmu tidak ada di tangan mereka. Wahyu keraton adalah milikmu. Bukan mereka yang menentukan jalanmu, tetapi dirimu sendiri.”


---

Ken Dedes perlahan menyadari bahwa ia harus mengambil kendali atas takdirnya. Bukan sebagai permaisuri, bukan sebagai alat ambisi pria mana pun, tetapi sebagai wanita yang berdiri di atas keyakinannya sendiri.

Di bawah pohon beringin tua, ia berdiri tegak, menatap langit dengan mata yang kini penuh tekad.
“Jika takdir adalah pedang, maka aku akan memegangnya dengan kedua tanganku. Dunia boleh bergetar, tapi aku tidak akan menyerah.”

Bayangan di bawah pohon beringin itu kini tidak lagi hanya sebuah pertanyaan tanpa jawaban, tetapi awal dari sebuah perjalanan besar yang akan mengubah sejarah.


No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...