Tetes hujan merintih ditengah kangen ku, jika usai hujan di senja ini,

ku berharap pelangi dihadirkan oleh Tuhanku, untuk mengobati rindu yang semakin meronta diujung kalbu.

Wednesday, December 18, 2024

Ken Dedes 2 : Pertemuan yang Membawa Perubahan


Aula besar Tumapel terasa dingin meski dipenuhi lampu-lampu minyak yang berkelip di sepanjang dinding batu. Di tengah ruangan, Tunggul Ametung berdiri tegap. Sosoknya besar dan penuh wibawa, dengan tatapan tajam seperti elang yang selalu mencari kelemahan mangsanya. Para pejabat kerajaan diam di kursinya masing-masing, sementara Ken Dedes, dengan tubuh yang dibalut kain sederhana, berdiri kaku di hadapan sang penguasa.

Tunggul Ametung mengamati gadis desa itu dengan mata yang menyipit, seolah membaca sesuatu yang hanya bisa ia pahami. Dalam keheningan yang terasa abadi, ia melangkah maju, sepatu kulitnya bergema di lantai batu.

“Kau...” suaranya dalam dan penuh getaran, “...akan menjadi permaisuriku.”

Kalimat itu menggema di ruangan, menghantam hati Ken Dedes seperti petir yang membelah langit. Ia tak menyangka akan mendengar pernyataan sepihak yang mengubah seluruh hidupnya.

Ken Dedes menunduk, mencoba menyembunyikan gemetar di tangannya. “Yang Mulia, aku hanyalah gadis desa. Aku tidak pantas untuk menjadi permaisuri seorang penguasa besar seperti Anda.”

Tunggul Ametung tersenyum kecil, sebuah senyuman yang bercampur antara kesombongan dan kepercayaan diri. “Pantas atau tidak bukan untuk kau yang menentukan, Dedes. Takdir telah memilihmu. Bahkan orang tuamu tidak akan berani menolak kehendakku.”

---

Ken Dedes terdiam, tapi hatinya bergolak. “Apakah ini takdir... atau ambisi seorang penguasa?” pikirnya. Namun, ia tahu bahwa menolak bukanlah pilihan yang aman.

“Tapi, Yang Mulia...” Ken Dedes memberanikan diri untuk bicara. “Mengapa saya? Bukankah ada wanita-wanita lain dari keluarga bangsawan yang lebih layak?”

Tunggul Ametung mendekat, suaranya pelan namun tegas. “Karena kau berbeda. Aku melihat cahaya dalam dirimu, sesuatu yang tidak dimiliki oleh wanita mana pun. Ramalan tentang wahyu keraton telah sampai ke telingaku. Dan aku tahu kau adalah bagian dari takdir Tumapel.”

Ken Dedes tersentak. Kata-kata itu membuatnya merasa seperti sebuah barang berharga yang diperebutkan, bukan seorang manusia dengan kehendak bebas. Ia mencoba menatap mata Tunggul Ametung, tapi tatapan tajam pria itu membuatnya gentar.

“Yang Mulia,” akhirnya ia berkata, “Jika ini takdir, apa yang akan terjadi pada keluargaku jika aku menolak? Apakah saya harus menyerahkan seluruh hidup saya demi takdir yang bahkan saya sendiri tidak mengerti?”

Tunggul Ametung menatapnya lama sebelum menjawab. “Kau tidak menolak, Dedes. Kau tidak akan menolak. Karena dengan menjadi permaisuriku, kau akan menyelamatkan keluargamu, desamu, dan mungkin seluruh Tumapel.”

---

Percakapan dengan Diri Sendiri

Malam itu, Ken Dedes duduk sendirian di tepi sungai kecil di belakang istana. Bayangan bulan di permukaan air tampak rapuh, seolah mencerminkan hatinya yang penuh retakan.

“Apa ini kehendak para Dewa? Atau hanya kehendak seorang pria yang haus akan kekuasaan?” gumamnya pada dirinya sendiri.

Air matanya jatuh tanpa suara, mengalir bersama aliran sungai. Ia mengingat wajah ayah dan ibunya, yang selalu bekerja keras untuknya. Ia tahu bahwa menolak perintah Tunggul Ametung bisa berarti kehancuran bagi keluarganya.

“Tapi bagaimana dengan aku? Apakah aku tidak berhak menentukan hidupku sendiri?” suaranya bergetar. Namun, jawabannya hanyalah gemericik air yang terus mengalir, seolah menyiratkan bahwa waktu tidak akan berhenti untuknya.

---

Keesokan malamnya, Tunggul Ametung memanggil Ken Dedes ke taman istana. Angin malam berhembus lembut, namun ada ketegangan yang menggantung di antara mereka.

Tunggul Ametung memandangnya dengan tatapan yang lebih lembut daripada sebelumnya. “Kau takut,” katanya tanpa basa-basi.

Ken Dedes mengangguk perlahan. “Bagaimana mungkin saya tidak takut? Hidup saya berubah dalam satu malam. Dan Anda berbicara tentang takdir seolah-olah itu adalah sesuatu yang sudah pasti.”

Tunggul Ametung mendekat, tapi kali ini ia tidak terlihat sebagai seorang penguasa yang penuh wibawa. Ada sesuatu dalam suaranya yang lebih manusiawi. “Aku juga takut, Dedes. Takdir tidak hanya memilihmu, tapi juga aku. Aku memilihmu bukan hanya karena ramalan, tapi karena aku melihat sesuatu dalam dirimu—keteguhan, keberanian, sesuatu yang bahkan mungkin tidak kau sadari ada pada dirimu.”

Ken Dedes mengangkat wajahnya, menatap Tunggul Ametung dengan mata yang basah. “Tapi apakah itu cukup? Apakah keberanian saya cukup untuk menjalani hidup yang tidak saya pilih?”

“Keberanian adalah awalnya,” jawab Tunggul Ametung. “Namun sisanya ada pada dirimu. Aku tidak memaksamu untuk mencintaiku, Dedes, tapi aku membutuhkanmu untuk mempercayaiku. Jika kita bersama, kita bisa menghadapi apa pun.”

---

Setelah pertemuan itu, hati Ken Dedes semakin berat. Ia merasa seperti terjebak di antara dua dinding yang semakin mendekat.

“Jika aku menerima, apakah aku akan kehilangan diriku sendiri?” ia bertanya pada dirinya sendiri. “Jika aku menolak, apakah aku akan kehilangan segalanya?”

Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa takdir memang tak pernah sederhana. Ia harus memilih—bukan hanya untuk dirinya, tetapi untuk orang-orang yang ia cintai.

Dan di tengah keheningan malam, ia memutuskan untuk melangkah ke arah yang belum pernah ia tempuh, meskipun jalannya penuh duri.

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...