Laksamana Syahbandar bukan hanya seorang panglima yang cerdas dan disegani, tetapi juga seorang pria yang membawa luka masa lalu yang tak pernah sembuh. Ia lahir di sebuah desa nelayan kecil, anak seorang pelaut yang keras dan ibu yang lembut namun sering sakit-sakitan. Kehidupan yang sulit mengajarinya untuk bertahan, tetapi juga membuatnya haus akan sesuatu yang lebih—mungkin cinta, mungkin pengakuan.
Di pasar malam yang semarak dengan lampu-lampu lentera dan wangi bunga melati, ia bertemu Ratna, seorang gadis dengan senyum yang mampu menghentikan waktu. Mereka berbincang setiap malam, Syahbandar berbagi impian tentang kehidupan yang lebih besar, dan Ratna berbagi kisah tentang dunia kecilnya yang sederhana namun penuh warna. Ratna menyukai Syahbandar, bukan karena ambisinya, tetapi karena hatinya yang penuh semangat.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Ratna dijodohkan dengan seorang pedagang kaya. Di malam terakhir mereka bertemu, Ratna memberikan syal sutra biru kepada Syahbandar. “Jangan lupakan aku,” katanya lembut. “Dan jangan lupakan hatimu, meskipun dunia memintamu berubah.”
Cinta yang Menggerakkan Dunia
Syahbandar bersumpah untuk menjadi orang yang mampu menciptakan dunia di mana cinta mereka tidak perlu tunduk pada takdir. Ia meninggalkan kampung halamannya untuk mengabdi kepada Sultan Malaka. Dengan kecerdasannya, ia naik pangkat dengan cepat, menjadi laksamana yang tidak hanya cerdas dalam strategi tetapi juga keras dalam tindakannya. Setiap kemenangan yang diraihnya adalah langkah menuju impian membangun dunia yang ia dambakan—dunia di mana ia bisa kembali kepada Ratna.
Namun, ambisi itu mengubahnya. Ia menjadi dingin, memandang manusia sebagai alat untuk mencapai tujuan. Hanya syal sutra biru yang selalu ia bawa di sakunya yang mengingatkannya pada masa lalu dan hatinya yang pernah hangat.
Perubahan di Bukit Batu
Ketika Syahbandar memimpin serangan ke Bukit Batu, ia melihat perlawanan sengit dari rakyat kecil yang dipimpin oleh Hang Jebat dan Hang Tuah. Di tengah kekacauan, ia menyaksikan seorang wanita dengan wajah yang mengingatkannya pada Ratna—muda, kuat, dan penuh keberanian. Wanita itu melindungi seorang anak kecil dari serangan pasukannya.
Hatinya terguncang. Untuk pertama kali dalam bertahun-tahun, ia melihat bayangan Ratna dalam perjuangan wanita itu. Ia memerintahkan pasukannya untuk mundur dari area itu. “Tidak ada yang menyakiti wanita itu,” katanya dingin, tapi penuh ketegasan.
Namun, takdir mempertemukannya dengan Hang Tuah. Pertarungan mereka bukan hanya tentang kekuatan, tetapi juga tentang prinsip. “Apa yang kau perjuangkan, Syahbandar?” tanya Tuah di sela-sela tebasan pedangnya. “Dunia yang lebih baik, atau hanya ambisimu?”
Pertanyaan itu menghantam Syahbandar lebih keras daripada senjata apa pun. Dalam pertarungan sengit itu, Tuah berhasil melucuti keris Syahbandar. Namun, alih-alih menebasnya, Tuah menghentikan serangannya.
“Kau masih punya hati, Syahbandar,” kata Tuah. “Gunakan itu, sebelum kau kehilangan segalanya.”
Akhir yang Menghidupkan
Syahbandar terjatuh berlutut, bukan karena kekalahan, tetapi karena kesadaran. Ia melepaskan perintah kepada pasukannya untuk mundur, menyelamatkan penduduk Bukit Batu dari pembantaian. Dalam hujan yang deras, ia berdiri di depan pasukannya dan berkata, “Pertarungan ini berakhir. Kita bukan monster.”
Hang Tuah, yang melihat perubahan itu, hanya mengangguk dengan hormat. Malam itu, Syahbandar memilih untuk meninggalkan medan perang, membawa kembali syal biru yang telah lama ia simpan.
Bertahun-tahun kemudian, Syahbandar kembali ke kampung halamannya, bukan sebagai laksamana, tetapi sebagai seorang pria yang telah menemukan kembali hatinya. Ia mendapati Ratna tinggal di sana, seorang janda dengan anak-anak yang kini ia rawat sendirian. Mereka berbicara panjang lebar, dan Ratna, dengan senyum yang lembut, berkata, “Akhirnya kau pulang.”
Syahbandar tidak meminta lebih. Cinta mereka mungkin tidak sama seperti dulu, tetapi ia telah menemukan kedamaian yang selama ini ia cari. Kini, ia memilih untuk hidup bukan demi kekuasaan, tetapi demi cinta dan kemanusiaan yang pernah ia abaikan.
No comments:
Post a Comment