Di balik bayangan kuasa dan kecerdikan seorang panglima, Laksamana Syahbandar adalah manusia yang memiliki luka dan cinta tersembunyi. Dia lahir di pelabuhan kecil yang ramai dengan cerita laut. Ayahnya adalah seorang pedagang yang dihormati, tetapi juga seorang pria yang keras, memaksanya memahami bahwa dunia ini tidak memberikan tempat bagi yang lemah. Di bawah didikan ayahnya, Syahbandar tumbuh menjadi pemuda cerdas dan tangkas, namun hatinya tetap hangat, terutama kepada seorang gadis yang sering ia temui di pasar malam—Ratna.
Ratna adalah putri seorang pengrajin perhiasan. Wajahnya lembut, namun matanya menyimpan kegigihan. Setiap kali mereka bertemu, Syahbandar akan membelikan bunga melati untuknya, bunga yang ia tahu menjadi favorit Ratna. Namun, cinta mereka tidak mudah. Ratna adalah gadis yang telah dijodohkan dengan seorang bangsawan kaya, sebuah fakta yang menjadi duri dalam hati Syahbandar.
“Aku akan mengubah takdir kita,” ucap Syahbandar suatu malam, memegang tangan Ratna dengan penuh tekad. “Aku akan menjadi seseorang yang mampu melindungimu, Ratna. Tunggu aku.”
Ratna hanya tersenyum, tetapi ada keraguan di matanya. “Jangan ubah dirimu hanya untuk aku, Syahbandar. Dunia tidak pernah adil, tetapi aku ingin kau tetap menjadi orang yang aku cintai.”
Namun, takdir memisahkan mereka. Demi mengejar ambisinya, Syahbandar meninggalkan kampung halamannya untuk mengabdi kepada Sultan Malaka. Ia menunjukkan kecerdasannya dalam strategi dan diplomasi, dan dalam waktu singkat, ia menjadi seorang laksamana yang ditakuti sekaligus dihormati. Namun, ambisi itu memakan jiwanya. Ia mulai memandang dunia dengan mata seorang pemimpin yang hanya peduli pada hasil, bukan hati.
Cinta yang Hilang
Bertahun-tahun kemudian, ketika Syahbandar kembali ke kampung halamannya sebagai pahlawan besar, ia mencari Ratna. Namun, Ratna telah menikah dengan pria yang dijodohkan dengannya, meninggalkan Syahbandar dengan hati yang kosong. Ratna, yang masih menyimpan rasa cinta, berkata padanya dengan air mata di pipinya, “Kita adalah kisah yang tak pernah selesai. Tapi aku bahagia kau telah mencapai apa yang kau impikan.”
Hati Syahbandar hancur, tetapi ia menyadari sesuatu malam itu—cintanya pada Ratna tidak akan pernah padam, tetapi ia tidak bisa mengubah masa lalu. Ia memilih untuk menenggelamkan rasa sakit itu dalam tugasnya kepada Sultan, menjadi lebih kejam dan tanpa ampun.
Akhir di Bukit Batu
Di Bukit Batu, ketika Syahbandar memimpin serangan terhadap Hang Jebat dan pasukannya, hatinya penuh dengan kepahitan. Ia tidak lagi bertarung demi keadilan, tetapi demi kekuasaan yang ia tahu tidak akan membuatnya bahagia. Namun, ketika ia berhadapan dengan Hang Tuah, sesuatu berubah.
“Hang Tuah,” katanya dengan nada mengejek. “Kau berjuang untuk apa? Untuk sahabat yang mengkhianati Sultanmu?”
Tuah tidak menjawab dengan kata-kata, hanya menatap Syahbandar dengan tatapan yang menusuk. Dalam pertarungan sengit itu, Syahbandar melihat bayangan dirinya dalam sosok Tuah—seorang pria yang terperangkap dalam tugas dan kehormatan. Namun, berbeda dari dirinya, Tuah masih memiliki sesuatu yang Syahbandar telah lama hilangkan—hati yang murni.
Pertarungan itu berakhir ketika Tuah berhasil menebas Syahbandar di dada. Syahbandar terjatuh ke tanah, darahnya mengalir deras, tetapi ia tersenyum tipis. “Kau kuat, Hang Tuah,” katanya terengah-engah. “Namun, ingat ini… kekuatanmu akan menjadi bebanmu.”
Saat hujan turun, Syahbandar menatap langit untuk terakhir kalinya. Ia teringat wajah Ratna, senyumnya yang tulus, dan bunga melati yang selalu ia berikan padanya. Dengan suara yang hampir tak terdengar, ia berbisik, “Ratna… maafkan aku.”
Dan di bawah langit Bukit Batu, Laksamana Syahbandar yang pernah ditakuti kini terbaring tanpa nyawa. Namun, di matanya yang tertutup, ada kedamaian yang akhirnya ia temukan. Cinta yang tak pernah mati, meski dunia telah mengambil segalanya darinya.
No comments:
Post a Comment