Siti Melur lahir di sebuah desa terpencil di Riau, di mana kehidupan berjalan lambat, jauh dari hiruk-pikuk dunia luar. Sejak kecil, ia diajarkan oleh ayahnya, seorang petani yang taat pada tradisi, untuk hidup selaras dengan alam. Ayahnya selalu berkata, "Alam adalah nenek moyang kita yang berbicara dalam diam. Jika kita mendengarkan, kita akan memahami segala rahasia kehidupan."
Suatu malam yang sepi, saat Siti Melur berjalan di ladang, sebuah peristiwa aneh terjadi. Tanah di bawah kakinya berguncang, dan angin yang tiba-tiba muncul berputar, mengirimkan suara gaib yang memanggil namanya. "Siti Melur..." suara itu berbisik, melayang di udara, membuat tubuhnya bergetar.
Dengan rasa penasaran yang membara, Siti Melur mengikuti suara itu, yang membawanya ke sebuah tempat yang tidak dikenalnya, jauh di luar desa. Di sana, di tengah hutan yang misterius, ia bertemu dengan seorang pria gagah berbaju hitam, berdiri dengan wibawa, memandangnya dengan mata yang tajam dan penuh misteri. Pria itu, meski tampak seperti seorang pahlawan, memiliki aura yang berbeda—seperti seseorang yang membawa beban takdir yang berat.
"Siapa... siapa kamu?" Siti Melur bertanya, suaranya bergetar oleh ketegangan.
Pria itu tersenyum lembut, meski ada kesedihan di matanya. "Aku Hang Tuah," jawabnya dengan suara berat namun lembut, "Pahlawan Melayu yang menjaga tanah ini dari kegelapan. Dan kamu, Siti Melur, dipanggil untuk melindungi alam, untuk menjaga keseimbangan yang mulai rapuh."
Siti Melur terdiam, terkejut. "Aku... aku tidak mengerti," ujarnya dengan ragu, "Apa yang bisa kulakukan? Aku hanya seorang gadis desa, tidak lebih."
Hang Tuah mendekat, tatapannya penuh harapan. "Kamu adalah penjaga yang ditakdirkan untuk melindungi alam ini. Kekuatanmu bukan hanya berasal dari tubuh, tetapi dari hubunganmu dengan tanah ini, dengan seluruh kehidupan yang ada di sekitarmu. Ada kegelapan yang datang, Siti Melur, dan hanya kamu yang bisa mencegahnya."
Tanpa sadar, hati Siti Melur mulai berdebar. Ada sesuatu dalam diri Hang Tuah yang menggetarkan hatinya—bukan hanya karena ia seorang pahlawan legendaris, tetapi juga karena ketulusan dan tekad yang terpancar dalam setiap kata yang diucapkannya. Seakan-akan, Siti Melur merasa takdir mereka terjalin dalam satu garis tak terlihat.
"Saya tak tahu apakah saya bisa," bisiknya, hampir tidak terdengar.
Hang Tuah meletakkan tangan di bahunya, memberi kekuatan tanpa kata-kata. "Kamu bisa, karena kamu sudah memilih untuk mendengarkan suara alam. Kamu hanya perlu percaya pada dirimu sendiri."
Setelah pertemuan itu, Siti Melur merasakan perubahan yang mendalam dalam dirinya. Ia mulai melihat alam dengan cara yang berbeda, lebih dalam. Setiap daun yang jatuh, setiap angin yang berhembus, semuanya terasa seperti pesan yang perlu ia pahami. Namun, ia tahu bahwa perjalanan ini bukanlah perjalanan seorang diri. Ada sesuatu yang lebih besar yang menunggunya.
Suatu hari, di hutan keramat Riau, Siti Melur bertemu dengan Budiman dan Roy. Mereka tidak tahu bahwa mereka akan bertemu di tempat yang sama, namun takdir telah mempertemukan mereka. Awalnya, Siti Melur hanya mengamati mereka dari jauh. Roy dengan kerisnya yang bercahaya dan Budiman dengan sikap tenang yang memancarkan kebijaksanaan. Namun, tak lama setelah itu, mereka saling berbicara, dan Siti Melur merasakan ikatan yang kuat antara mereka.
Roy, yang tengah mencari cara untuk mengalahkan Bayang Laksamana, menatap Siti Melur dengan penuh rasa ingin tahu. "Kau... kau bisa merasakan itu juga, bukan?" tanyanya pelan.
Siti Melur mengangguk, matanya tidak lepas dari Roy. "Ada sesuatu yang menghubungkan kita, Roy. Aku merasakannya. Alam ini sedang terguncang, dan kita... kita harus melindunginya."
Budiman, yang sudah sejak lama mendalami ilmu silat dan kebatinan, menatap mereka berdua, lalu berkata, "Kekuatan kalian bukan hanya dari sihir atau silat. Kekuatan sejati datang dari keikhlasan hati. Kita harus bekerja sama, saling menguatkan."
Roy mengangguk. "Aku belajar banyak dari kalian berdua. Siti Melur, Budiman... kalian mengajarkan aku tentang kekuatan yang lebih besar dari apa yang bisa aku pahami sebelumnya."
Siti Melur merasa hatinya tergetar mendengar kata-kata Roy. Ada sesuatu dalam dirinya yang mulai tumbuh—sesuatu yang lebih dari sekadar tugas atau takdir. Sesuatu yang membuatnya ingin melindungi Roy, dan bahkan lebih dari itu, ingin berjuang bersama mereka berdua. Ia tak bisa menjelaskan perasaannya, tetapi hati kecilnya memberitahunya bahwa mereka telah menemukan tujuan yang sama.
Di tengah perjalanan mereka, saat berbicara tentang bagaimana menjaga alam dan tradisi, Siti Melur merasa kedekatannya dengan Roy semakin mendalam. Suatu malam, saat mereka beristirahat di pinggir sungai, Roy duduk di sampingnya, memandang bintang-bintang yang bersinar cerah.
"Siti Melur," katanya pelan, "Aku merasa bahwa kita tak hanya melawan Bayang Laksamana. Kita juga melawan sesuatu yang lebih dalam, yang lebih gelap—sesuatu yang mengancam segala yang kita cintai."
Siti Melur menatap Roy dengan mata yang lembut. "Aku tahu. Dan aku akan melawan bersama kamu. Kita semua punya peran untuk memainkan, dan bersama kita bisa menjaga tanah ini."
Ada keheningan yang nyaman di antara mereka, sebuah kebersamaan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Tanpa kata-kata lebih lanjut, Siti Melur meraih tangan Roy dengan lembut, merasa kekuatan yang luar biasa mengalir dari sentuhan itu—sebuah janji tak terucap.
Mereka melanjutkan perjalanan, dan meskipun ancaman dari Bayang Laksamana semakin dekat, hati mereka tidak pernah gentar. Bersama-sama, mereka akan menghadapi kegelapan itu—dan melindungi bukan hanya dunia, tetapi juga cinta yang tumbuh di antara mereka, meski sederhana dan diam-diam, namun kuat seperti akar yang tertanam dalam tanah yang mereka jaga.
No comments:
Post a Comment