Tetes hujan merintih ditengah kangen ku, jika usai hujan di senja ini,

ku berharap pelangi dihadirkan oleh Tuhanku, untuk mengobati rindu yang semakin meronta diujung kalbu.

Sunday, December 1, 2024

Tragedi Perjuangan Sultan Hasanuddin: Sang Ayam Jantan dari Timur

Malam itu, di aula utama Istana Gowa, Sultan Hasanuddin berdiri tegap, matanya menyapu wajah para pembesar dan panglima yang berkumpul. Mereka baru saja mendengar kabar bahwa VOC, dengan bantuan Arung Palakka, tengah bersiap menyerang.  

Awal Kepemimpinan 

Hasanuddin:
(Suara tegas, penuh keyakinan) 
“Para pembesar, mari kita teguhkan hati! Gowa tidak akan tunduk pada keserakahan Belanda! Perdagangan di negeri ini adalah hak kita, bukan hak mereka!”  

Seisi ruangan bersorak mendukung. Di tengah riuh itu, Karaeng Bonto, penasihat setia, mengangkat tangannya meminta izin bicara.  

Karaeng Bonto: 
“Paduka Sultan, VOC tidak hanya kuat secara militer, mereka juga licik. Kita harus waspada terhadap ancaman dari dalam.”  

Hasanuddin mengangguk, menyadari kebenaran itu. Namun, tekadnya bulat.  

Hasanuddin:  
“Licik atau tidak, Gowa akan berdiri. Kalau perlu, kita akan lawan mereka sampai tetes darah terakhir!”  

Perang dan Pengkhianatan

Tahun-tahun berikutnya penuh dengan pertempuran sengit. Hasanuddin memimpin pasukan melawan serangan VOC. Pada suatu malam, di medan pertempuran, ia berhadapan dengan Karaeng Galesong, panglimanya yang paling setia.  

Karaeng Galesong: 
“Paduka Sultan, kita mendapat kabar buruk. Arung Palakka telah bersekutu dengan VOC.”  

Hasanuddin tertegun, lalu menatap jauh ke arah cakrawala yang gelap.  

Hasanuddin:  
(Dengan nada sedih) 
“Arung Palakka... Aku tahu ia kecewa pada kita. Tapi bersekutu dengan penjajah? Ia telah menusuk punggung bangsanya sendiri.”  

Karaeng Galesong hanya menunduk, menyadari bahwa pengkhianatan ini adalah pukulan berat bagi Gowa.  

Hasanuddin: 
“Kalau begitu, kita tidak hanya melawan Belanda. Kita juga melawan saudara sendiri. Tuhan menjadi saksi, perjuangan ini akan berat.”  

Pertempuran Somba Opu 

Benteng Somba Opu menjadi saksi perlawanan terakhir Gowa. Hasanuddin berdiri di atas tembok benteng, mengarahkan prajuritnya yang terus bertahan meskipun peluru meriam menghujani mereka.  

Hasanuddin:
(Berteriak lantang) 
Jangan biarkan mereka masuk! Pertahankan Somba Opu, meski kita harus menyerahkan nyawa kita!”  

Di tengah kekacauan itu, Karaeng Galesong datang dengan wajah berlumuran darah.  

Karaeng Galesong:  
“Paduka, pasukan kita habis. Benteng tak akan bertahan lebih lama.”  

Hasanuddin mengepalkan tangannya, lalu menatap pasukan yang tersisa.  

Hasanuddin:  
“Kalau begitu, biarlah kita menjadi legenda. Biarlah anak cucu kita tahu bahwa kita melawan sampai akhir!”  

Namun, benteng itu akhirnya jatuh. Hasanuddin dipaksa menyerah dan menandatangani Perjanjian Bongaya.  

Akhir yang Tragis 

Beberapa tahun setelah kekalahan itu, Hasanuddin duduk sendirian di taman istana. Wajahnya penuh dengan kesedihan. Karaeng Bonto mendekatinya perlahan.  

Karaeng Bonto:
“Paduka Sultan, rakyat tidak melupakan perjuangan Anda. Anda telah memberi mereka keberanian.”  

Hasanuddin menatap langit, matanya berkaca-kaca.  

Hasanuddin
“Kemenangan bukan milik kita, Karaeng. Tapi aku percaya, suatu hari nanti, negeri ini akan bebas dari belenggu penjajah. Saat itu, mungkin nama kita akan dikenang bukan sebagai yang kalah, tapi sebagai yang melawan.”  

Hasanuddin wafat tak lama setelah itu, meninggalkan jejak perjuangan yang abadi.  

Refleksi Tragedi

Kisah Sultan Hasanuddin adalah tragedi besar, namun juga simbol keberanian tanpa batas. Dialog terakhirnya adalah harapan bagi generasi mendatang untuk melanjutkan perjuangan. Nama “Ayam Jantan dari Timur” tetap abadi sebagai sosok yang menolak tunduk pada ketidakadilan, meskipun akhirnya harus kalah dalam pertempuran.  

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...