Senja mulai turun, melukis langit dengan warna jingga keemasan. Angin laut berembus lembut, membelai wajahku yang hangat oleh air mata yang kutahan. Di hadapanku, dia berdiri diam, matanya memancarkan kesedihan yang tak mampu ia sembunyikan.
"Aku tak ingin pergi," ucapku, suaraku bergetar.
Dia tersenyum tipis, tapi matanya mengkhianati ketegarannya. "Aku tahu," katanya pelan. "Tapi ini bukan tentang ingin atau tidak, kan?"
Aku mengepalkan tangan, menatap ujung sepatuku yang hampir menyentuh batas dermaga. Kapal di belakangku mengeluarkan suara peluit panjang, seolah mengingatkanku bahwa waktu kami hampir habis.
"Akan tiba saatnya kita bertemu lagi," katanya, mencoba meyakinkanku. "Ini bukan akhir."
Aku menghela napas, berusaha mempercayai kata-katanya. "Tapi bagaimana kalau kita berubah? Bagaimana kalau saat itu tiba, kita bukan lagi orang yang sama?"
Dia menatapku dalam-dalam, seolah ingin mengukir setiap detail wajahku dalam ingatannya. "Kita akan berubah," katanya jujur. "Tapi perasaan ini? Aku yakin, itu tak akan berubah."
Aku mengalihkan pandangan, melihat ombak yang terus berkejaran di bawah sana. "Aku tidak peduli dengan mereka semua," kataku akhirnya. "Aku hanya ingin dicintai. Aku hanya peduli padamu."
Dia tertawa kecil, getir. "Dan aku hanya peduli padamu."
Aku meraih tangannya, merasakan hangatnya yang begitu akrab. "Aku akan melewati api dan hujan jika itu bisa membawaku kembali padamu."
Dia menggeleng, matanya berkaca-kaca. "Kau selalu dramatis."
Aku tersenyum kecil. "Dan kau selalu menyukai itu."
Dia menggigit bibir, mencoba menahan tangisnya. "Kau melekat padaku seperti tato, tahu?"
Aku mengangguk pelan. "Begitu juga kau."
Peluit kapal berbunyi lagi, kali ini lebih mendesak. Aku tahu aku harus pergi. Aku melepaskan tangannya perlahan, meskipun setiap bagian dalam diriku menjerit untuk tetap bertahan.
"Jangan lupakan aku," kataku, setengah bercanda, setengah putus asa.
Dia tersenyum, meskipun air matanya jatuh. "Mana mungkin aku melupakan sesuatu yang sudah menjadi bagian dari diriku?"
Aku menahan napas, lalu berbalik. Setiap langkah menjauh darinya terasa seperti meninggalkan sebagian jiwaku di sini. Tapi aku tahu satu hal—cinta ini tidak akan pudar.
Karena dia sudah menjadi bagian dari diriku. Seperti tato yang tak akan pernah hilang.
No comments:
Post a Comment