Tetes hujan merintih ditengah kangen ku, jika usai hujan di senja ini,

ku berharap pelangi dihadirkan oleh Tuhanku, untuk mengobati rindu yang semakin meronta diujung kalbu.

Sunday, August 10, 2025

Kau, Aku, dan Dia yang Menangis

Stasiun kereta sepi sore itu. Hari Minggu yang hampir berakhir sepertinya berhasil memaksa banyak orang untuk tetap di rumah, beristirahat sepuasnya sebelum kembali berkutat dengan kejamnya ibu kota.

Aku duduk di kursi besi mengkilap, memegang cangkir plastik berisi kopi dingin. Tanganku gemetar. Entah sudah berapa kali aku memalingkan kepala ke kanan dan kiri, mencari tanda-tanda kedatangannya.

Tak lama kemudian, dia berjalan mendekat. Menunduk, bersenandung pelan. Rambut ikalnya terlihat lebih panjang dan mengilap dari sebulan lalu, saat terakhir kami bertemu di sebuah kafe remang-remang. Wajahnya yang cantik… ah, selalu ada alasan untuk mengagumi fisiknya yang hampir sempurna. Seperti wajah seseorang yang dulu sering kulihat di cermin—bukan di wajahku, tapi di wajah lain yang pernah begitu dekat denganku.

Tanpa berkata apa-apa, dia duduk di sampingku. Jaket beludru coklat panjangnya terjurai halus, menutupi sepasang kaki jenjangnya. Aku mengamatinya seperti seorang bocah yang baru pertama kali melihat mainan mahal. Dengan kekaguman… dengan kasih sayang yang tak pernah padam.

“Kenapa kamu melihat seperti itu?” Dia melirikku dari ujung matanya.

Aku tidak menjawab, hanya tersenyum. Senyum yang sudah lama tak sempat kulatih.

Sebuah kereta listrik melintas cepat di depan kami. Suaranya bising, seperti orkestra tukang besi yang memukul drum asal-asalan. Namun entah mengapa, suara itu terasa nyaman di telingaku, yang sudah akrab dengan keheningan selama bertahun-tahun.

“Bagaimana kabarnya?” tanyaku hati-hati.

Dia menarik napas panjang. “Tumben kamu tanya? Dia baik-baik saja.”

“Dia tahu kamu datang menemuiku?”

“Tidak. Dia tidak perlu tahu. Aku hanya sebentar.”

“Sebentar? Aku sudah menunggu tiga jam.”

Dia menatapku, untuk pertama kalinya sore itu. Sorot matanya—ah, mata itu—mata yang pernah kulihat menatapku dari pangkuan seorang wanita di ruang bersalin belasan tahun lalu. “Sejak kapan kamu peduli? Aku tidak pernah memintamu menunggu.”

“Aku selalu peduli padamu. Selalu. Dan aku tahu kamu juga. Makanya kamu datang.”

“Jangan sok tahu.”

“Aku selalu tahu.”

“Lalu ke mana saja kamu saat aku membutuhkanmu?! Ke mana?! Jawab!” suaranya meninggi, bibirnya bergetar.

Aku terdiam. Ada puluhan jawaban di kepalaku, tapi tak satu pun pantas keluar. Mungkin ini memang hukuman yang layak kuterima.

“Diam! Selalu diam! Sampai kapan kamu mau diam seperti ini?”

“Kamu bertanya sampai kapan? Sampai kamu mau mengerti bahwa aku bernapas untukmu. Bertahan hidup demi kamu. Jadi kumohon tetaplah di sini, dan mulailah menerimaku.”

“Tidak!” isaknya pecah.

Tanganku gemetar, cangkir kopi lepas, isinya tumpah. “Aku tidak memaksamu melakukan apa pun. Aku hanya ingin kamu mengerti… dan mulai menerima keberadaanku lagi.”

“Diam!”

“Bukankah kamu yang memintaku bicara? Ini aku bicara. Ini aku katakan yang sejujurnya.”

Scarf di lehernya mulai basah oleh air mata. Aku ingin menghapusnya, tapi takut disentuhku hanya akan memperburuk luka yang belum sembuh.

“Katakan apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus berdarah untukmu? Mengorbankan nyawaku? Katakan. Apa pun itu… asal kamu mau mencoba menerimaku.”

Dia menunduk, memeluk kakinya di atas kursi. Tangisnya kini lebih sunyi.

Sebuah kereta listrik melintas dari arah kota. Suara bisingnya memaksa kami sama-sama diam. Waktu seperti berhenti sejenak, memberi ruang untuk menimbang segala yang telah terjadi.

“Kenapa kamu harus datang, setelah aku pikir kamu sudah pergi?”

“Karena selamanya kita tidak akan pernah bisa terpisahkan.”

“Tidak! Selama ini aku bisa tanpamu. Seharusnya aku dan dia juga bisa hidup tanpamu!”

“Tapi aku yang tidak bisa hidup tanpamu.”

Dia terdiam.

“Aku bernapas untukmu. Biar waktu yang memisahkan kita. Biarkan waktu yang melakukan itu, bukan kamu, dia, atau aku.”

Aku meraih bahunya, memeluknya erat. Pelukan yang terasa seperti upacara pengembalian sesuatu yang hilang terlalu lama. Dia pun menangis lebih dalam, membalas pelukanku dengan kekuatan yang tak pernah kurasakan darinya sebelumnya.

Aku merasa kembali hidup.

Dan aku tahu kau juga merasakan hal yang sama.
Di balik pilar-pilar raksasa itu, aku tahu kau sedang menangis. Kau menangis karena dulu pernah memisahkan kami berdua. Kau melakukannya karena kesalahan besar yang kulakukan—meninggalkanmu.

Tapi aku juga tahu betapa bahagianya kau melihat dua orang yang paling kau sayangi ini berpelukan untuk pertama kalinya.
Aku—suamimu.
Dan dia—putri kecilmu, yang kini tumbuh secantik kamu.

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...