Tetes hujan merintih ditengah kangen ku, jika usai hujan di senja ini,

ku berharap pelangi dihadirkan oleh Tuhanku, untuk mengobati rindu yang semakin meronta diujung kalbu.

Wednesday, July 9, 2025

Peradaban Tak Pernah Mati"



"

Latar:
Sebuah negeri kecil yang dulunya gemilang, kini porak poranda oleh penjajahan modern: bukan lagi oleh senjata, tapi oleh penghapusan identitas, penghinaan terhadap budaya, dan persekusi diam-diam terhadap mereka yang berbeda suara.


---

1. Asap di Langit Timur

Pagi itu, langit Kota Lembah Biru menghitam. Bukan karena hujan, tapi karena tempat ibadah satu-satunya di Distrik Alaya terbakar untuk kedua kalinya dalam setahun.

Bara masih membara saat Mala, seorang guru muda, berdiri di puing-puing sambil memeluk murid-muridnya. Tak ada yang bisa diselamatkan, kecuali keyakinan bahwa mereka harus bertahan.

Mala menatap ke langit yang menghitam, lalu berkata, "Bawa pesan ini ke persekutuan kita. Tempat ibadah terbakar lagi. Tapi bukan iman kita yang mati."


---

2. Rumah yang Digrebek

Di sisi lain kota, Eja—seorang pemuda seniman—baru saja pulang dari pameran ketika rumah pamannya digrebek. Mereka dituduh menyimpan naskah-naskah kuno yang ‘mencurigakan’, padahal itu hanyalah puisi-puisi kuno dari bahasa nenek moyang.

“Nama kita diinjak lagi,” bisik Eja lirih, saat para aparat masuk tanpa izin, mengambil dokumen, bahkan dispenser air pun dirampas. Ia hanya bisa menggambar diam-diam: sepasang kaki yang menginjak gapura, dengan tulisan "Selamat datang" terbalik.


---

3. Saksi yang Tak Buta

Di sudut gang sempit, tinggal seorang kakek tua bernama Baba Rasman. Ia satu dari sedikit saksi hidup masa lalu yang masih berani bicara.

“Yang jadi saksi harus kuat,” katanya kepada cucunya. “Tak terbutakan dunia, tak terayun akhirat. Kita ini rantai sejarah. Yang patah, tumbuh. Yang hilang, berganti.”

Meski gapura budaya mereka hancur oleh buldoser “pembangunan”, Baba tetap mengajar anak-anak menari di ruang tamu rumahnya yang sempit. “Kita bangun lagi,” ujarnya setiap malam.


---

4. Api, Luka, dan Doa

Tiga bulan berlalu. Kota makin kacau. Bahasa daerah dilarang di sekolah. Perempuan dipaksa mengenakan pakaian “standar”.

Namun dari balik larangan itu, sebuah gerakan diam-diam lahir. Mereka menyebut diri: Peradaban Abadi.

Mereka menulis puisi dalam bahasa yang telah dikubur. Mereka menyulam pakaian lama dari motif leluhur. Mereka menulis di dinding kota:

> "Kar'na peradaban takkan pernah mati. Kebal luka bakar, tusuk, atau caci maki."




---

5. Para Pemimpi di Bawah Langit Gelap

Mala, Eja, dan para pemuda lain bertemu diam-diam di sebuah rumah panggung tua di pinggiran kota. Mereka menciptakan ruang belajar, perpustakaan bayangan, dan pementasan rahasia. Mereka menulis naskah berjudul: "Suatu Saat Nanti."

Dalam setiap naskah, mereka mengabadikan pesan:

> "Budaya-bahasa berputar abadi. Jangan coba atur tutur kata kami. Jangan atur gaya berpakaian kami."



Mereka tahu, hidup bukan tentang tunduk — tapi tentang memilih bagaimana berdiri.


---

6. Hari Itu Akan Tiba

“Suatu saat nanti,” bisik Mala pada Eja saat mereka melihat cahaya fajar, “tanah air akan kembali berdiri.”

“Dan kita akan memimpin diri sendiri,” sahut Eja.
“Kita akan meninggalkan sidik jari.”
“Dan semoga... semua berbesar hati.”

Tak ada ledakan. Tak ada pemberontakan bersenjata. Tapi sejarah tahu: peradaban tak selalu menang lewat perang. Kadang ia menang lewat ingatan. Lewat kesetiaan. Lewat kata-kata yang ditulis meski tahu takkan dicetak.


---

Penutup
Di balik reruntuhan, peradaban hidup. Dalam nyanyian anak-anak, dalam gambar mural, dalam bahasa ibu yang dibisikkan menjelang tidur.

Karena pada akhirnya — peradaban takkan pernah mati.



No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...