Hasan tertunduk lesu. Husain cuma bisa menatap sahabat yang duduk layu di depannya dengan tatapan nanar. Tanpa berusaha sedikitpun berkomentar. Ia masih menunggu waktu yang tepat untuk berbicara. Paling tidak, Husain hanya tak ingin perasaan kawannya makin terluka. Makin merasa jadi orang yang tak berguna.
“IT TAKES TWO TANGO..!”
But It`s Takes Two Tango |
“Kamu tahu? Itu adalah kalimat terakhir yang terucap dari mulutnya yang indah. Di saat pertemuan terakhir kita berdua. Ketika aku tak banyak bicara. Karena kurasakan kita berdua seakan berada di dua alam yang berbeda. Meski kita saling bertatap wajah. Berurai kata. Bahkan tersenyum getir di sela kecewa.”
“Sedih tak tertandingi. Saat cinta tak punya lagi tempat di hati. Saat emosi merajai gejolak diri. Saat usai mengharuskan aku dan dia berjalan dengan kesendirian yang sejati.”
“Tatapan kosong dan hampa. Untaian kalimat tanpa makna. Gerak tubuh yang seakan tak bernyawa. Semuanya saat itu terasa tanpa cinta. Hanya dua raga yang bertemu tanpa jiwa. Dan aku harus menerima. Ketika perpisahan pula yang harus jadi pilihan semata.”
Kata demi kata perlahan terucap dari mulut Hasan. Lirih dan terasa perih.
“Tapi kenapa harus berakhir seperti ini? Saat ini? Pada saat aku mulai lelah untuk mencari arti sebuah komitmen atas dasar cinta dan kasih sayang. Pada saat aku berpikir untuk mengakhiri semua kesendirian. Pada saat aku beranjak dari keraguan dan berjalan menuju sebuah keyakinan akan arti sebuah kebersamaan. Kenapa sekarang? Apa yang salah dengan diriku? Jangan-jangan memang gak ada samasekali yang benar dalam diriku? Mmm.. Aku Cuma berusaha berbuat sebaik mungkin untuk menjadi seorang pria yang baik. Seorang kekasih yang mencoba menerima kelebihan dan kekurangan pujaan hatinya. Seorang manusia yang sedang belajar bagaimana menjalani hidup berdua dengan orang lain yang berbeda dunia dan budaya..”
Husain masih tetap terdiam. Mendengarkan Hasan bermonolog dalam kesedihan.
“Aku tak butuh apa-apa. Aku cuma butuh dihargai. Sebagai seorang lelaki. Yang katanya bakal jadi pemimpin sebuah keluarga di kemudian hari. Sebagai seorang kaum Adam yang hanya ingin menjadi sesuatu bagi Hawa tercintanya ketika bersama maupun saat sendiri. Buat apa harta duniawi, ketika rasa justru terbelenggu dan tertidur suri. Buat apa tawa terdengar kalo hati terbalut sedih. Hidup terasa mati. Tanpa hati. Tanpa nurani.”
Hening. Tanpa suara.
“Memangnya ada yang salah ketika kita menginginkan yang terbaik untuk sang sang kekasih? Apa tak layak, bila kita melindunginya setengah mati? Bukan! Bukan buat kepentingan kita pribadi. Tapi untuk kebaikan dimasa nanti..”
Ada rasa cemas yang dirasakan Husain ketika Hasan berujar.
“Aku cukup mengerti. Aku tahu bahwa pada kenyataannya tiap orang memang dicipta dengan sebuah perbedaan nyata. Tak hanya sifat. Tak pula tabiat. Meski hanya setitik kecil dan bahkan nyaris tak terlihat, pasti akan selalu ada yang bernama beda. Beda yang bisa menjadi indah. Beda yang mampu membuat nestapa. Semua tergantung bagaimana kita menyikapinya. Satu hal yang pasti. Aku tahu Aku tak akan pernah bisa menuntut sebuah perubahan yang berarti dari sang pujaan hati. Aku tak mampu sama sekali. Karena aku tahu pasti, sebuah perubahan memiliki sebuah arti, ketika dilakukan dengan sepenuh hati. Bukan karena takut dibilang tidak mencintai. Bukan pula karena hanya sekedar menyenangkan ego diri. Tapi karena kita ingin melakukannya untuk kebaikan diri kita sendiri.”
“Aku tak pernah meminta lebih. Tak pernah menuntut sebuah janji. Meski awal terucap begitu indah dan menyejukkan hati. Yup! Sebuah janji. Janji yang terikrar tanpa sebuah manipulasi. Janji yang terucap untuk saling mengerti. Saling membenahi. Saling introspeksi. Dan yang terpenting, saling mengisi.”
“Aku tahu pasti, sebuah pemikiran tak selamanya sejalan. Meski kita melangkah berdampingan. Berpegangan tangan dan saling berpandangan.”
“Lihat saja nyatanya. Aku dan dia tak sama! Benar-benar dua dunia yang berbeda. Aku pria dan dia wanita. Tak perlu melihat dari sisi yang tak tertangkap mata. Cukup satu itu saja!”
“Aku banyak belajar dari dia. Tentang hidup. Tentang bahagia. Tentang derita. Tentang suka. Tentang duka. Namun, entah apa yang ia dapat dariku? Tepatnya, entah apa yang mau ia pelajari dari pribadi seperti aku? Mungkin memang tak ada. Aku cukup sadari itu semua. Dari ujung kaki hingga ujung kepala. Memang tak ada. Aku mungkin memang hanya seorang bajingan biasa yang mencoba untuk jatuh cinta, tanpa mengerti makna cinta. Cuma sekedar gaya, tapi akhirnya lemas tak berdaya. Tak kuasa. Tak berkuasa.”
Husain makin terdiam. Tak tahu harus bicara apa bila saatnya tiba.
“Awalnya semua begitu indah. Terbayang sempurna. Aku dan dia saling cinta dan selalu seia-sekata. Komunikasi terjalin lewat tatapan muka atau sekedar suara dan kata-kata melalui layar fana. Masih gembira yang terasa meski kekurangan sudah terjabar dengan kata dan laku yang nyata. Saling menerima. itu saja intinya. Kelebihan atau kekurangan, memang sudah di depan mata. Meski terlihat satu demi satu dan kadang mengejutkan jiwa. Tapi apa mau dikata. Ketika komitmen tercetus di dada, kita hanya tinggal menjalani dengan hati yang terbuka. Berlapang dada. Itu saja. Begitupun aku adanya. Tak sedikitpun terbesit ingin merubah dan dirubah secara paksa. Apalagi dia. Karena aku tahu dia seorang wanita dengan jiwa yang merdeka. Seorang dewasa yang jauh lebih mengenal dunia. Jauh berbeda denganku yang tak mengerti apa-apa. Semuanya memang terasa begitu indah. Sangat indah. Kadang bahkan membuatku ingin teriak tak terima ketika menyadari kini semua itu sudah tiada.”
Detik waktu bergulir. Layaknya air yang sedang mengalir.
“Rasa tak percaya. Menyulut sebuah cemburu di dalam dada. Itu mungkin permulaannya. Bukan sebuah hal yang salah. Karena kita manusia. Mungkin memang sudah kodratnya. Keduanya akan merasakan hal yang sama. Meski pria dilahirkan dengan logika dan wanita dengan rasa. Kekasihku memilih untuk mengungkapkannya. Dan aku lebih memilih untuk memendam itu semua. Meyimpannya rapat-rapat dalam relung jiwa dan menahannya untuk tak keluar di waktu yang tak semestinya. Tak sampai membuatku buta. Tak sampai membuatku merasa tak dicinta. Cukup jadi rahasia hingga saatnya tiba. Baginya aku mungkin seperti seorang yang tak paham bagaimana menghadapi wanita. Baginya aku mungkin hanya seorang jalang yang senang melukai hati dan perasaannya. Baginya aku mungkin seonggok cacing tanah kepanasan yang senang menggeliat tak tentu arah. Bermain dengan cinta dan harapannya. Baginya aku tak mempunyai ruang untuknya. Dihatiku. Yang semestinya sudah menjadi miliknya seorang saja.”
Hasan menarik nafas panjang. Husain menghela nafas sam panjangnya.
“Rasa tak terima, selanjutnya. Tak senang ketika merasa dirinya tak berarti apa-apa buatku yang justru tak mengharapkan apa-apa. Rasa galau yang membuatnya berpikir prioritas hidupku dalam bercinta bukan hanya dia semata. Rasa marah yang menyelimuti jiwanya hingga menganggapku cuma orang yang tak punya rasa. Tak punya titik dewasa. Tak punya nalar dan nurani yang seharusnya. Rasa tak dihargai ketika amarahku cuma menjadikanku layaknya sebuah arca yang diletakkan di depan candi tak berharga. Kekasihku kecewa. Kekasihku nelangsa. Kekasihku terlilit derita.”
“Rasa tak dihargai sebagai manusia dan wanita seutuhnya. Mungkin saat itu yang ia rasa. Ketika jarak telah memisahkan kita tak secara nyata. Dekat tapi tanpa sua. Tak jauh tapi seakan dipisah ribuan pulau tak bernyawa. Ketika diam lebih berkuasa didiriku yang kekanakkan dan penuh cela.”
“Apa mungkin cinta memang sudah tak ada? Atau cinta akhirnya terkulai layu meski awalnya bersemi dengan indah? Aku tak bisa berujar tidak bahkan iya. Mungkin cinta itu sudah redup. Perlahan dihantam ego semata. Ego sebagai seorang pria yang tak punya harta yang lebih berharga selain pendamping hidupnya kelak semata. Ego seorang lelaki yang hanya butuh dihargai tanpa perlu dicaci atas titahnya kepada wanita yang menjadi tanggungjawabnya. Ego seorang yang bisa juga merasa sedih ketika ucap dan katanya tak mampu menjadi sesuatu yang berarti. Hanya melenggak gemulai dari telinga kanan, dan sesaat kemudian melenggok santai dari telinga kiri.”
“Mau jadi apa nantinya kalo kalimatku tak punya nilai apa-apa? Mau berakhir seperti apa ketika inginku cuma terlihat seperti tuntutan yang terlalu mengada- ada? Mau dibawa kemana perahu cinta kita ketika ada dua nahkoda di dalamnya?”
Husain makin terkunci dalam sunyi.
Hasan makin menari dalam sedih. “Mungkin ini hanya secuil perasaan tak penting yang aku rasa. Mungkin ia merasakan rasa yang jauh lebih menyedihkan bahkan mengecewakan dari yang aku punya. Mungkin aku yang jahanam dan dia yang mulia. Mungkin aku si buruk rupa dan dia yang mempesona bentuknya. Mungkin memang sepenuhnya aku yang salah. Tak bisa mencintai kekasihku dengan cara yang sempurna.”
“Mungkin memang itu adanya. Dan aku hanya berharap ia tak membenciku karena kelemahanku yang tak terhingga.”
“Aku harap ia tak membenciku karena itu..”
Husain merasakan sebuah kehilangan yang sangat datang dari hati sahabatnya.
“Hanya saja. Aku juga manusia. Yang punya rasa dan ingin yang menggelora. Yang memiliki hasrat untuk membuatnya selalu bahagia meski hasilnya tak seindah yang aku kira. Aku juga tak mau membuatnya bersedih dalam menjalani hari. Terkukung dalam kekangan yang tak mesti. Aku ingin dia bahagia. Meski tanpa aku kini di sampingnya.”
“Andai saja..”
Terdiam. Termenung.
“Andai saja wanitaku mau tuk belajar mencintai dirinya sepenuh hati, maka akupun bisa belajar mencintainya dengan sebenarnya hati. Andai saja perempuanku mau mencoba menyayangi seluruh harta yang ia miliki, aku juga kan berusah merawat cintaku padanya dengan cara yang hakiki. Andai saja ia mau belajar untuk menghargai. Aku mungkin tak hanya menganggapnya seorang permaisuri seperti saat bertemu dengannya pertama kali dan hingga kini. Andai ia mau melakukan itu semua dengan sepenuh jiwa dan hati, aku pasti telah menjadikannya seorang bidadari..”
Husain tak bisa mengeluarkan kata. Karena Hasan pun sudah tak memiliki kata. Husain sadari satu hal sudah. Hasan sudah kehilangan sebuah cinta..
2 comments:
ini ceritanya kok kayak homo ya? tapi menarik mas bro.
gak gitu juga kali bg.
Post a Comment