Arga duduk di bangku taman, memandangi bunga-bunga yang bergoyang pelan diterpa angin sore. Di tangannya ada sebuah buku catatan yang penuh dengan puisi-puisi dan surat yang tak pernah ia kirimkan. Semua itu ditulis untuk seseorang yang tak pernah tahu seberapa besar tempat yang ia tempati di hati Arga—Nadia.
Nadia adalah teman lamanya, seorang wanita yang dengan mudah mencuri perhatian tanpa pernah menyadarinya. Ia adalah tipe orang yang bisa membuat dunia seolah lebih terang hanya dengan sebuah senyuman. Namun, Nadia bukan miliknya. Hatinya telah dimiliki orang lain.
Arga tahu itu sejak awal, tetapi ia tetap mencintainya. Teman-temannya sering berkata, “Kenapa kamu terus bertahan? Bukankah ini sia-sia?” Namun Arga selalu menjawab dengan sederhana, “Mencintai dia bukan soal memiliki, ini soal menjalani tugas yang aku pilih untuk diriku sendiri.”
Ia pernah mencoba mengungkapkan perasaannya. Dengan jantung yang berdebar kencang, ia mengakui segalanya kepada Nadia di suatu senja yang tenang. Tapi jawabannya membuat segalanya jelas. Nadia menatapnya dengan mata lembut dan berkata, “Aku menghargai perasaanmu, Arga. Tapi aku sudah memiliki seseorang yang aku cintai.”
Hati Arga hancur. Namun, anehnya, ia tidak menyesal. Bagi Arga, cintanya kepada Nadia adalah sesuatu yang murni. Ia mencintainya bukan untuk mendapatkan balasan, tetapi karena ia tidak bisa membayangkan hari tanpa merasakan kehangatan perasaan itu.
Waktu berlalu. Nadia menikah dengan pria yang ia cintai. Arga hadir di pernikahan itu, membawa senyumnya yang tulus. Beberapa teman bertanya, “Apa tidak sakit menghadiri pernikahan orang yang kau cintai?” Arga hanya menjawab dengan senyuman kecil, “Mencintainya adalah tugas yang aku pilih sendiri. Tugas itu tidak akan berhenti hanya karena ia tidak bisa kumiliki.”
Hari-hari setelah itu, Arga tetap menjalani hidupnya seperti biasa. Ia menulis, bekerja, dan menemukan kebahagiaan kecil dalam hal-hal sederhana. Tapi cintanya kepada Nadia tetap ada. Bukan lagi sebagai luka, melainkan sebagai pengingat bahwa hati manusia mampu mencintai tanpa syarat.
Bagi Arga, kegagalan bukanlah ketika Nadia tidak memilihnya. Kegagalan yang sesungguhnya adalah berhenti mencintai, berhenti peduli, dan membiarkan perasaan itu memudar menjadi kebencian atau kepahitan. Karena dengan mencintai, meski tanpa memiliki, Arga merasa tetap hidup dan bermakna.
Cinta sejati, baginya, bukan soal akhir yang bahagia. Cinta sejati adalah keberanian untuk terus mencintai, bahkan ketika dunia tidak memberikan apa-apa sebagai balasannya.
No comments:
Post a Comment