Arung Palakka: Kisah Pengkhianatan di Tanah Makassar
Awal Kehidupan Arung Palakka
Arung Palakka, seorang bangsawan Bone yang lahir dengan nama La Tenritatta, tumbuh sebagai pewaris takhta Bone di Sulawesi Selatan. Ia dikenal sebagai pemuda ambisius yang memimpikan kejayaan untuk kerajaannya. Namun, di bawah kekuasaan Kerajaan Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin, Bone hanya dianggap sebagai vasal—kerajaan bawahan.
Palakka memendam rasa sakit atas penghinaan ini. Baginya, Bone adalah kerajaan besar yang tidak pantas tunduk pada siapa pun. Dalam hatinya, tumbuh dendam yang kelak mengubah nasib banyak orang.
Perlakuan Gowa terhadap Bone
Di masa itu, Kerajaan Gowa memperluas kekuasaannya ke seluruh Sulawesi Selatan, termasuk Bone. Bone dipaksa membayar upeti dan memberikan prajurit untuk perang Gowa.
Arung Palakka, yang masih muda, menyaksikan rakyat Bone diperlakukan seperti bawahan. Ia melihat keluarganya kehilangan martabat mereka, dan ia bersumpah untuk membebaskan Bone dari kekuasaan Gowa.
Namun, ia tahu bahwa Gowa terlalu kuat untuk dilawan secara langsung. Maka, Arung Palakka menunggu waktu yang tepat untuk mewujudkan ambisinya.
Pelarian dan Pengkhianatan
Pada tahun 1660, setelah gagal dalam pemberontakan melawan Gowa, Arung Palakka melarikan diri ke Buton dan kemudian ke Batavia (sekarang Jakarta). Di sana, ia bertemu dengan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), yang juga memiliki ambisi untuk menghancurkan Gowa demi menguasai perdagangan rempah-rempah.
VOC melihat potensi besar dalam diri Arung Palakka. Ia mengenal medan Sulawesi dan memiliki pengikut yang setia dari rakyat Bone yang terasing. Sebagai gantinya, Arung Palakka berjanji membantu VOC mengalahkan Gowa, meskipun itu berarti mengkhianati bangsanya sendiri.
Kolaborasi dengan VOC
Pada tahun 1666, Arung Palakka kembali ke Sulawesi bersama armada VOC yang dipimpin Cornelis Speelman. Dengan persenjataan modern dan strategi militer VOC, ia memimpin pasukan Bone untuk menyerang Gowa dari belakang, sementara VOC menggempur dari laut.
Pertempuran besar terjadi di Benteng Somba Opu, tempat Sultan Hasanuddin mempertahankan Gowa mati-matian. Namun, serangan mendadak dari pasukan Arung Palakka memecah pertahanan Gowa.
Arung Palakka:(kepada prajurit Bone)
“Ini adalah saat kita membalas dendam! Bebaskan Bone dari belenggu Gowa! Majulah!”
Pasukan Bone bertempur dengan semangat, tapi di balik keberanian itu, ada darah saudara sebangsa yang tertumpah.
Kejatuhan Gowa
Dengan pengkhianatan Arung Palakka, Gowa kalah. Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani Perjanjian Bongaya pada tahun 1667, yang menghancurkan kejayaan Gowa. VOC pun memonopoli perdagangan di Sulawesi dan wilayah timur Indonesia.
Namun, bagi Bone, kemenangan itu tidak datang tanpa harga. Arung Palakka telah menyerahkan sebagian besar kendali wilayah Sulawesi kepada VOC, menjadikan Bone sekadar alat bagi Belanda.
Penguasa yang Kejam
Setelah kekalahan Gowa, Arung Palakka diangkat sebagai Raja Bone. Namun, kekuasaannya penuh dengan kekerasan. Ia memaksakan kehendaknya kepada rakyat Bone dan kerajaan-kerajaan lain yang tidak tunduk padanya.
Rakyat Bone:
"Arung Palakka membebaskan kita dari Gowa, tapi kini kita menjadi budak VOC. Apa bedanya?"
Kekejaman Arung Palakka menciptakan kebencian yang mendalam di kalangan rakyat Sulawesi. Banyak yang mulai melihatnya bukan sebagai pahlawan Bone, melainkan sebagai pengkhianat Nusantara.
Karma Sang Pengkhianat
Meskipun ia berhasil mencapai puncak kekuasaan, hidup Arung Palakka dipenuhi bayang-bayang dosa. Pengkhianatannya terhadap Sultan Hasanuddin dan kerja samanya dengan VOC membuat namanya dicap buruk dalam sejarah Nusantara.
Pada tahun 1696, Arung Palakka meninggal dalam kesendirian. Meski Bone telah bebas dari Gowa, rakyatnya masih terjajah oleh VOC, dan kekayaan Sulawesi terus mengalir ke tangan Belanda.
Warisan Arung Palakka
Arung Palakka dikenang dengan dua wajah. Bagi sebagian rakyat Bone, ia adalah pahlawan yang membebaskan mereka dari kekuasaan Gowa. Namun, bagi Nusantara, ia adalah pengkhianat yang menjual tanah airnya kepada penjajah demi ambisi pribadi.
Kisah Arung Palakka menjadi pelajaran pahit tentang bahaya ambisi dan pengkhianatan. Sejarah mencatatnya sebagai sosok yang melawan penindasan, tetapi dengan cara yang menciptakan luka yang lebih dalam bagi bangsa sendiri.
Refleksi:
Arung Palakka mungkin memenangkan perang, tapi ia kehilangan hati rakyatnya. Sementara itu, Sultan Hasanuddin, meskipun kalah, tetap dikenang sebagai simbol keberanian dan perjuangan melawan kolonialisme. Perbedaan ini menunjukkan bahwa kejayaan sejati bukanlah tentang kemenangan, melainkan tentang kehormatan.
No comments:
Post a Comment