Tetes hujan merintih ditengah kangen ku, jika usai hujan di senja ini,

ku berharap pelangi dihadirkan oleh Tuhanku, untuk mengobati rindu yang semakin meronta diujung kalbu.

Sunday, December 8, 2024

Babak Lanjutan: Antara Hujan dan Perasaan



Malam itu, saat aku pulang ke rumah, langkahku terasa lebih berat dari biasanya. Pikiran tentang percakapan di kafe tadi terus terngiang-ngiang. Pesan darimu, dengan kalimat sederhana yang berbunyi, “Dia bilang iya! Aku berhasil! Terima kasih atas dukunganmu selama ini.” terasa seperti pisau tajam yang menusuk hati.

Aku mengetik balasan singkat, berusaha menyembunyikan rasa pedihku.
“Selamat, aku ikut bahagia untuk kamu.”

Namun, kebahagiaan itu tidak nyata. Hujan di luar masih turun deras, seolah langit ikut merasakan kegundahan hatiku.


---

Beberapa minggu berlalu. Kamu semakin sibuk dengan hubungan barumu, sementara aku tetap menjadi pendengar setiamu. Setiap cerita tentang dia—tentang senyumnya, tentang betapa dia membuatmu merasa istimewa—hanya mempertegas jurang yang memisahkan kita.

Suatu malam, aku memutuskan untuk berjalan-jalan sendirian di taman. Hujan gerimis mulai turun, tetapi aku tidak peduli. Langkahku membawaku ke ayunan di bawah pohon besar, tempat kita dulu sering bermain saat kecil. Aku duduk di sana, memandangi langit yang kelabu.

“Aku bodoh,” gumamku pada diri sendiri. “Kenapa aku harus jatuh cinta padamu?”

Namun, aku tahu jawabannya. Kamu adalah tempatku kembali, satu-satunya orang yang membuatku merasa utuh.

Di saat seperti itu, aku mendengar suara langkah mendekat. Aku menoleh, dan di sanalah kamu, berdiri dengan payung di tangan, menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan.

“Kamu kenapa di sini, sendirian, di tengah hujan?” tanyamu, nada khawatir terdengar jelas di suaramu.

Aku mencoba tersenyum, meski hatiku memberontak. “Hanya ingin menghirup udara segar. Kamu sendiri? Bukannya kamu biasanya sibuk dengan dia?”

Kamu duduk di ayunan di sebelahku, menurunkan payungmu. Gerimis mulai membasahi kita berdua.

“Dia baik,” jawabmu singkat, lalu terdiam. “Tapi entah kenapa, akhir-akhir ini aku merasa ada yang kurang.”

Aku menoleh, menatapmu dengan bingung. “Kurang? Bukankah kalian cocok?”

Kamu mengangguk pelan. “Dia sempurna, setidaknya di mata orang lain. Tapi... dia bukan kamu.”

Jantungku berdegup kencang. Kata-kata itu mengalir begitu saja, seperti angin yang membawa perubahan.

“Aku nggak ngerti,” kataku akhirnya, suaraku bergetar.

Kamu menghela napas panjang, seolah menimbang apa yang akan kamu katakan. “Aku juga nggak ngerti, sampai beberapa hari yang lalu. Kamu selalu ada untukku, mendengarkan semua keluh kesahku, bahkan tentang dia. Tapi aku mulai sadar... aku nggak pernah benar-benar melihat. Selama ini, aku terlalu sibuk mencari sesuatu yang sebenarnya sudah ada di depan mataku.”

Hening sejenak, hanya suara hujan yang menemani. Aku merasa napasku terhenti.

“Aku bodoh, ya?” tanyamu, tersenyum kecil, meski matamu tampak gelisah. “Apa aku sudah terlambat untuk bilang kalau aku ingin mencoba melihat ke arahmu?”

Aku hanya menatapmu, bingung antara percaya atau tidak. Perasaan yang selama ini terkubur dalam-dalam tiba-tiba muncul ke permukaan, membanjiri seluruh diriku.

“Kamu tahu, ini aneh,” kataku akhirnya. “Aku sudah terlalu lama menyukai kamu, sampai aku hampir menyerah. Tapi sekarang kamu bilang ini... aku nggak tahu harus bagaimana.”

Kamu menggenggam tanganku, hangat di tengah dinginnya hujan. “Kita nggak harus buru-buru. Aku cuma ingin kamu tahu. Kalau kamu mau, aku ingin kita coba, bersama-sama.”

Aku terdiam, lalu mengangguk perlahan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa ada harapan yang nyata.

Hujan semakin deras, tapi kami tidak peduli. Di bawah pohon besar itu, kami memulai sesuatu yang baru, dengan hati yang masih penuh keraguan tetapi juga keyakinan bahwa kami akhirnya menemukan jalan yang benar—jalan menuju satu sama lain.


---

Epilog: Janji di Bawah Hujan

Hari itu menjadi awal dari cerita baru bagi kami. Tidak semua berjalan mulus; ada keraguan, tantangan, dan masa-masa sulit. Tapi satu hal yang pasti, kami berdua berjanji untuk saling memahami, menghargai, dan tidak menyerah.

Dan setiap kali hujan turun, aku selalu teringat malam itu—malam ketika akhirnya, kamu memilih melihat ke arahku.


No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...