Senja dan Rindu yang Tak Bertepi
Di ujung dermaga kecil yang sepi di Bengkalis, di mana kayu-kayu tua merekah perlahan digerogoti waktu dan garam laut, seorang wanita berdiri mematung—seperti patung kesetiaan yang tak pernah bergeser oleh angin dan waktu. Namanya Laila. Wajahnya, yang dulu bersinar dengan tawa dan cinta, kini dibasuh senja yang meredup perlahan, seperti harapan yang pudar namun enggan padam.
Angin laut datang menyapu pelan, menyelusup di antara helai rambutnya yang dibiarkan lepas. Aromanya asin, menyengat, menyesakkan—bau yang menelusup hingga ke dasar kenangan, membawa kembali suara, tawa, dan janji yang pernah terucap dari bibir seorang lelaki yang kini hanya tinggal nama di hatinya.
Setiap senja, ia kembali ke tempat ini.
Bukan untuk melihat laut, tapi untuk menanti keajaiban.
Ia berdiri di sana, menatap cakrawala seolah-olah dari balik lipatan ombak itu, seseorang akan muncul. Bukan bayangan, bukan mimpi, tapi dia—lelaki itu—yang pernah bersumpah untuk kembali.
Tapi laut tetap diam.
Ia tak pernah menjawab. Tak pernah mengabarkan apa-apa, selain debur gelombang dan gumam angin.
Laila menarik napas dalam. Udara lembap memenuhi dadanya, namun tidak sanggup meredam sesak yang tak berkesudahan. Tangannya gemetar, lalu ia bisikkan doa, atau mungkin mantra rindu yang hanya ia dan angin pahami.
> "Padamu jua..."
Hanya dua kata. Tapi dari bibir Laila, kalimat itu seperti pintu yang membuka gerbang ke masa lalu.
> "Aku masih menunggumu."
Ia berkata pelan, tapi dalam hati kalimat itu membentur-bentur seperti ombak yang menghantam dermaga—penuh harap, penuh luka.
Tak ada jawaban. Hanya suara laut yang terus bernyanyi, nyanyian yang bagi Laila terdengar seperti ratapan dunia atas cinta yang tak pernah pulang.
---
Lima Tahun yang Lalu
Mereka berdiri di dermaga ini, berdua, seperti dua tokoh dalam cerita yang belum tamat.
Langit dibalut warna jingga keemasan. Ombak mendayu lembut. Senja seolah menjadi saksi yang tenang atas janji yang mereka ikat di sana.
> "Aku akan kembali," katanya, menggenggam tangan Laila seerat mungkin, seolah waktu bisa dibekukan hanya dengan sentuhan.
> "Tunggu aku di sini. Saat senja. Seperti ini."
Laila mengangguk, meski matanya berkaca-kaca. Suaranya lirih saat membalas:
> "Aku akan menunggumu. Setiap hari."
Dan sejak itu, ia memang menunggu.
Hari menjadi minggu, minggu menjadi bulan. Tahun-tahun berlari, tak menoleh. Tapi Laila tetap kembali ke dermaga, seperti ibadah sunyi yang tak boleh terputus.
Lelaki itu tak pernah kembali.
Orang-orang bilang, kapalnya karam di laut lepas. Tidak ada yang ditemukan. Tidak mayat. Tidak kabar.
Namun Laila tak pernah benar-benar percaya pada kematian yang tak memiliki nisan.
> "Dia masih hidup," ia meyakinkan dirinya sendiri setiap malam. "Dia hanya tersesat. Dan suatu hari, dia akan menemukan jalan pulang."
---
Kembali ke Senja Ini
Langit mulai kehilangan warnanya. Biru tua merangkak masuk, menelan jingga yang perlahan mundur.
Laila tetap berdiri. Tangannya ia kepalkan, bukan karena marah, tapi karena dingin mulai menyergap tubuhnya yang tak muda lagi. Ia menolak pulang, menolak menyerah pada kenyataan bahwa mungkin, yang ia tunggu memang tak akan pernah datang.
> "Datanglah..." suaranya nyaris tak terdengar. "Walau hanya dalam mimpi. Walau hanya sebagai bayangan. Aku ingin melihatmu sekali saja. Sekali lagi..."
Lalu—bayangan.
Matanya membelalak. Degup jantungnya seolah terhenti sesaat. Ada sosok di kejauhan. Perlahan berjalan mendekat.
> Itu dia?
Namun tidak. Hanya seorang nelayan tua, menggandeng ember dan jaring usang. Sosok asing yang hanya mempertegas kenyataan.
Air matanya jatuh.
Satu per satu, tak bisa dibendung lagi. Tangis yang selama ini ia sembunyikan di balik doa, akhirnya pecah. Tubuhnya limbung, lututnya lemas. Ia jatuh berlutut di dermaga, memeluk dirinya sendiri seperti anak kecil yang kehilangan jalan pulang.
> "Kenapa kau tak kembali...? Kenapa kau biarkan aku sendiri...? Aku menepati janji kita... kenapa tidak kau?"
Di sekelilingnya, laut terus bergelora. Ombak menari dalam kesedihan yang hening. Seolah ikut merasakan luka yang terlalu dalam untuk dijelaskan dengan kata.
Dan di sanalah Laila sadar—mungkin, yang selama ini ia tunggu bukanlah seorang lelaki.
Melainkan kelegaan.
Kepastian bahwa ia boleh berhenti berharap.
Tapi ia belum mampu. Belum siap. Masih ada ruang kecil di hatinya yang menolak menutup pintu itu sepenuhnya.
Dengan langkah perlahan, ia meninggalkan dermaga. Punggungnya membungkuk. Bayangan tubuhnya panjang mengiringi jalan pulang, seolah menjadi penanda betapa panjangnya penantiannya.
Namun ia tahu, besok senja, ia akan kembali.
Karena selama langit masih menyalakan jingganya, selama laut masih mengirim angin ke daratan, dan selama hatinya masih bisa berharap—Laila akan terus menunggu.
Meskipun tak pernah tahu, apakah yang ditunggunya benar-benar akan kembali.
No comments:
Post a Comment