Tetes hujan merintih ditengah kangen ku, jika usai hujan di senja ini,

ku berharap pelangi dihadirkan oleh Tuhanku, untuk mengobati rindu yang semakin meronta diujung kalbu.

Wednesday, December 18, 2024

Ken Dedes 3: Bisikan Hati yang Membara



Senja turun perlahan di hutan dekat Tumapel, menciptakan bayangan panjang di antara pepohonan yang rimbun. Ken Arok berdiri di kejauhan, memperhatikan sosok Ken Dedes yang termenung di tepi sungai. Tatapan matanya tajam, penuh perhatian, tetapi di dalam hatinya ada pergulatan antara kekaguman dan ambisi.

Ia berbisik kepada dirinya sendiri, “Dia bukan hanya wanita biasa. Dalam dirinya, ada kekuatan yang belum ia sadari. Kekuatan itu akan menjadi milikku… atau menghancurkanku.”

Sambil menghela napas panjang, ia melangkah maju. Kali ini, ia harus berbicara dengannya. Ia tidak bisa lagi hanya menjadi bayangan yang mengamati dari jauh.


---

Ken Dedes duduk di tepi sungai, jari-jarinya yang halus menyentuh permukaan air yang berkilauan oleh sinar senja. Namun, wajahnya tak merefleksikan keindahan di sekitarnya. Ada kesedihan yang mendalam, seperti beban yang tak terlihat menekan dadanya.

“Kenapa kau selalu termenung, Ken Dedes?” Suara berat itu memecah keheningan. Ken Arok berdiri tak jauh darinya, tubuhnya tegap dengan mata yang menatap langsung ke arahnya.

Ken Dedes menoleh, sedikit terkejut. “Apa pedulimu?” tanyanya dingin, mencoba menyembunyikan kegelisahan di balik suaranya.

Ken Arok melangkah mendekat, senyumnya tipis namun penuh keyakinan. “Aku peduli karena aku tahu kau terjebak. Di dalam hatimu ada api, tapi kau biarkan ia padam oleh ketakutan.”

Kata-katanya membuat dada Ken Dedes bergetar, seolah-olah ia baru saja disentuh oleh kebenaran yang selama ini ia hindari. “Kau bicara seakan kau mengenalku,” balasnya, suaranya bergetar antara marah dan penasaran.

Ken Arok menunduk sedikit, menunjukkan wajah yang lebih lembut, meskipun matanya tetap menyala-nyala. “Aku tidak perlu mengenalmu untuk melihat siapa dirimu, Ken Dedes. Kau adalah wanita yang diciptakan untuk hal besar. Tapi kau terperangkap oleh orang-orang yang tak pernah memahami nilai sejati dirimu.”

Ken Dedes mengalihkan pandangannya, menatap air sungai yang mengalir perlahan. Kata-kata itu menusuk, membangkitkan emosi yang selama ini ia coba kubur. “Dan kau? Apa yang kau lihat dariku? Sebuah jalan menuju ambisimu?” tanyanya tajam.

Ken Arok terkesiap, tetapi ia tidak menghindari tuduhan itu. “Ya, aku memiliki ambisi. Aku ingin dunia yang lebih baik, dunia yang lebih adil. Dan kau… kau adalah bagian dari itu. Tapi, jangan salah paham,” ia mendekat, suaranya menjadi lebih lembut. “Aku juga melihat seseorang yang terluka, seseorang yang kehilangan dirinya di antara aturan dan takdir yang dipaksakan padanya.”

Air mata Ken Dedes mulai menggantung di pelupuk matanya, tetapi ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya. Ia berdiri, menghadapi Ken Arok dengan kepala tegak. “Kau tidak tahu apa-apa tentangku,” katanya tegas. “Kehidupan ini bukan hanya tentang apa yang kita inginkan. Ada tanggung jawab… ada pengorbanan.”

“Dan kau rela mengorbankan kebahagiaanmu untuk itu?” tantang Ken Arok, matanya menatap tajam ke dalam matanya. “Apa artinya takdir jika kau hidup seperti burung dalam sangkar emas? Bukankah kau juga ingin terbang, Ken Dedes?”

Ken Dedes membuang napas berat, mencoba menguasai dirinya. Namun, suara Ken Arok terus menggema di benaknya, menyentuh sudut hatinya yang selama ini ia coba matikan.

“Kau berbahaya, Ken Arok,” ujarnya akhirnya, suaranya serak. “Tunggul Ametung tidak akan membiarkan siapa pun mendekatiku seperti ini. Dia akan menghancurkanmu.”

Ken Arok tersenyum tipis, tetapi tatapannya tak berubah. “Aku tidak takut pada Tunggul Ametung. Jika itu adalah harga yang harus kubayar untuk kebenaran, aku akan menerimanya.”

Ken Dedes menatap pria di depannya, bingung antara kekaguman dan ketakutan. Kata-katanya memancarkan keberanian yang ia impikan, tetapi ia tahu ada bahaya besar di balik itu. Dalam sunyi yang melingkupi mereka, hanya suara air sungai yang mengalir pelan mengiringi pergulatan di hati masing-masing.

“Berhati-hatilah dengan apa yang kau inginkan, Ken Arok,” kata Ken Dedes akhirnya, sebelum melangkah pergi, meninggalkan pria itu berdiri sendiri di tepi sungai. Namun, hatinya kini tak lagi tenang. Kata-kata Ken Arok telah meninggalkan jejak yang mendalam, sebuah bisikan yang terus menggema, tak bisa ia abaikan.

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...