Tetes hujan merintih ditengah kangen ku, jika usai hujan di senja ini,

ku berharap pelangi dihadirkan oleh Tuhanku, untuk mengobati rindu yang semakin meronta diujung kalbu.

Thursday, December 19, 2024

Sang Penentu



Matahari pagi mengintip malu-malu dari balik gorden kamar Amara. Gadis itu duduk di tepi ranjang, tangannya menggenggam cangkir teh yang sudah dingin. Ia menatap jam di dinding—pukul 07.45. Di luar jendela, suara burung dan deru kendaraan seakan berlomba mengingatkannya bahwa dunia tak pernah berhenti bergerak.

"Amara, kamu belum mandi? Nanti telat lagi!" suara ibunya menggema dari dapur.

Ia menghela napas panjang. Rasanya setiap hari waktu adalah musuhnya. Ia tahu ia harus bergerak, tapi entah kenapa tubuhnya seakan berat. Amara tidak sedang malas, ia hanya... terjebak. Terjebak dalam pikirannya sendiri, dalam pertanyaan-pertanyaan yang tak berujung.


---

Di kantor, Amara duduk di depan komputer dengan tatapan kosong. Dokumen-dokumen yang harusnya selesai sejak kemarin masih terbengkalai. Bosnya, Pak Rizal, sudah dua kali menegur. Amara tahu ia sedang bermain dengan api, tapi entah kenapa, dorongan untuk segera menyelesaikan semuanya tak kunjung datang.

"Amara, lo kenapa sih akhir-akhir ini?" tanya Nanda, sahabat sekantornya.

Ia hanya mengangkat bahu. "Entahlah, gue capek."

"Capek apa?"

Amara ingin menjawab, tapi lidahnya kelu. Apa yang sebenarnya membuatnya lelah? Rutinitas? Hidup? Atau dirinya sendiri yang terlalu sering mengabaikan waktu?


---

Di suatu malam, Amara duduk di bangku taman dekat apartemennya. Ia memandangi langit yang kelam tanpa bintang, ditemani suara dedaunan yang bergesekan pelan. Jam di tangannya menunjukkan pukul 21.30.

"Waktu nggak pernah berhenti, ya?" gumamnya.

Seorang pria tua yang duduk tak jauh darinya mendengar kalimat itu. Ia tersenyum kecil, mendekat dengan hati-hati. "Waktu memang nggak pernah berhenti, tapi kita yang sering berhenti karena takut atau malas melangkah."

Amara menoleh, terkejut. "Maaf, Pak? Bapak bicara sama saya?"

Pria itu mengangguk. "Kamu terlihat seperti orang yang sedang berperang dengan waktu."

Amara terdiam. "Iya... Saya merasa nggak cukup waktu untuk menyelesaikan semuanya, tapi anehnya saya juga sering buang-buang waktu."

Pria itu tertawa kecil, suaranya renyah tapi hangat. "Kamu tahu kenapa? Karena kamu berpikir waktu itu musuh. Padahal, waktu itu cermin. Apa yang kamu lakukan, apa yang kamu pikirkan, waktu hanya memantulkan semuanya."

"Cermin?" Amara mengernyitkan dahi.

"Iya. Kalau kamu terus menunda, waktu memantulkan kebiasaanmu itu. Kalau kamu mau bergerak sekarang, waktu juga akan memantulkan keberhasilanmu nanti."

Amara terdiam. Kata-kata pria itu sederhana, tapi menyentuh hatinya.


---

Hari itu, sesuatu dalam diri Amara berubah. Ia mulai mengatur ulang hidupnya. Memilih untuk bangun lebih pagi, mencicil pekerjaannya satu per satu, dan yang terpenting, belajar menghargai waktu.

Tidak semua hari berjalan mulus. Ada kalanya ia masih merasa lelah dan ingin menyerah. Tapi setiap kali ia merasa begitu, ia teringat kata-kata pria tua di taman itu. Waktu adalah cermin, dan ia punya kendali penuh atas bayangan yang ingin ia lihat.

Amara mungkin tidak bisa menghentikan waktu, tapi ia bisa memilih bagaimana menjalani setiap detiknya. Dan dalam proses itu, ia menyadari satu hal yang sangat penting:

Waktu bukanlah musuh. Waktu adalah penentu.


No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...