Di aula megah Tumapel yang temaram, Tunggul Ametung duduk di singgasananya dengan dahi berkerut. Cahaya obor memantulkan bayangannya di dinding, memberikan kesan seorang raja yang berusaha menahan badai di dalam pikirannya. Di hadapannya berdiri seorang pria setia, Mpu Gandring, dengan ekspresi penuh kehati-hatian.
"Ken Arok itu ular," kata Tunggul Ametung dengan suara rendah namun penuh ancaman. "Aku tahu dia memandang lebih dari yang seharusnya—pada istriku, pada tahtaku, pada Tumapel."
Mpu Gandring menunduk, suaranya hati-hati, "Paduka, apakah Anda ingin aku mengawasinya lebih dekat?"
Tunggul Ametung tersenyum tipis, tetapi senyumnya penuh kepahitan. "Tidak perlu. Biarkan dia menunjukkan taringnya dulu. Aku ingin tahu seberapa jauh ular itu berani merayap sebelum aku menginjak kepalanya."
Sementara itu, di sudut lain Tumapel, di sebuah pondok kecil yang tersembunyi, Ken Arok berbicara dengan sekutunya, Kebo Ijo. Di luar, angin malam membawa aroma tanah basah, tetapi di dalam pondok itu, udara terasa tegang.
"Tunggul Ametung tidak melihat apa yang ada tepat di depannya," ujar Ken Arok dengan suara pelan namun penuh keyakinan. "Dia sibuk menjaga tahtanya, tetapi kekuatannya yang sebenarnya ada pada Ken Dedes."
Kebo Ijo mengangkat alis. "Istrinya?"
Ken Arok tersenyum tipis, matanya memancarkan ambisi. "Dia lebih dari sekadar istri. Dia adalah wahyu keraton, kunci bagi siapa pun yang ingin menguasai lebih dari sekadar Tumapel."
---
Di sisi lain, Ken Dedes duduk di balkon istana, matanya memandang jauh ke arah cakrawala. Hatinya terasa berat, terjebak di antara dua kekuatan yang saling tarik-menarik. Tunggul Ametung, suaminya, menawarkan perlindungan, tetapi juga rasa terkurung. Ken Arok, dengan segala ambisinya, menawarkan kebebasan yang menggoda, tetapi penuh risiko.
Suara langkah kaki mengagetkannya. Saat ia menoleh, Ken Arok berdiri di sana, membawa udara dingin malam bersamanya.
"Dedes," panggilnya pelan, suaranya seperti bisikan yang merasuk hingga ke relung hati.
Ken Dedes berdiri, jaraknya tetap menjaga kehormatan, tetapi matanya memancarkan campuran emosi—takut, ragu, dan sedikit harapan. "Kenapa kau datang ke sini? Kau tahu ini berbahaya."
Ken Arok melangkah mendekat, suaranya semakin lembut. "Karena aku tidak bisa berpura-pura lagi. Kau tahu ini lebih dari sekadar ambisi. Kau tahu aku melihat sesuatu dalam dirimu yang bahkan Tunggul Ametung tak pernah lihat."
Ken Dedes tertawa kecil, getir. "Semua ini hanya tentang kekuasaan, bukan? Kau melihatku sebagai jalan menuju tahtamu."
"Jika itu benar, kenapa aku selalu memikirkanmu setiap malam?" Ken Arok menjawab cepat, tanpa keraguan. "Kenapa aku merasa sakit melihatmu terkurung dalam istana ini, seperti burung indah dalam sangkar emas?"
Mata Ken Dedes melembut, tetapi hatinya masih diselimuti keraguan. "Dan apa yang kau tawarkan, Arok? Sangkar yang berbeda? Atau kebebasan yang semu?"
Ken Arok menghela napas. "Aku menawarkan kesempatan untuk memilih. Sesuatu yang Tunggul Ametung tak pernah berikan padamu."
Ken Dedes terdiam, hatinya bergemuruh. Ia tahu kata-kata Ken Arok menggugah sesuatu yang telah lama ia pendam—keinginan untuk bebas, untuk menjadi lebih dari sekadar alat dalam permainan kekuasaan.
Namun, ia juga tahu, mengikuti Ken Arok berarti meninggalkan segalanya, termasuk kehormatannya sebagai istri seorang penguasa.
"Pergilah, Arok," katanya akhirnya, suaranya bergetar. "Jika kau benar-benar peduli, kau akan membiarkanku membuat keputusan sendiri, tanpa tekanan darimu... atau dari Tunggul Ametung."
Ken Arok menatapnya dalam-dalam sebelum akhirnya mengangguk. "Aku akan pergi, Dedes. Tapi ketahuilah, pintuku akan selalu terbuka untukmu."
Ia berbalik, langkahnya perlahan menghilang di balik kegelapan malam, meninggalkan Ken Dedes dengan pikirannya yang berkecamuk. Di dalam dirinya, ia tahu, malam ini bukan akhir dari permainan ini. Hatinya tetap terombang-ambing di antara dua pria—dan dua jalan hidup yang sangat berbeda.
No comments:
Post a Comment