Tetes hujan merintih ditengah kangen ku, jika usai hujan di senja ini,

ku berharap pelangi dihadirkan oleh Tuhanku, untuk mengobati rindu yang semakin meronta diujung kalbu.

Thursday, December 5, 2024

Pertemuan Hang Jebat dan Hang Tuah dalam Konflik Bukit Batu

Langit malam di Bukit Batu dipenuhi bintang, seolah-olah semesta turut merayakan kemenangan mereka. Di balai besar, riuh pesta berlangsung dengan tawa, sorak, dan lantunan seruling yang mengalun merdu. Setelah diangkat menjadi panglima oleh Datuk Laksmana, Hang Jebat melangkah dengan rasa bangga di antara deretan prajurit yang bersorak menyambutnya. Malam itu, pesta kemenangan digelar di balai besar Bukit Batu. Hang Jebat berdiri di tengah kerumunan, sosoknya memancarkan aura seorang panglima baru—gagah, percaya diri, dan penuh semangat. Namun, di balik senyumannya yang tampak kokoh, hatinya diselimuti gejolak ketika matanya menangkap sosok yang duduk tenang di sudut ruangan.  


Hang Tuah.  


Namun, di tengah keramaian itu, Hang Jebat tak dapat mengabaikan satu sosok yang duduk di sudut ruangan—Hang Tuah, sahabat lamanya yang kini lebih dikenal sebagai pahlawan Siak sebuah kerajaan dalam Kerajaan Malaka.  


Hang Jebat melangkah dengan mantap, keris di pinggangnya bergoyang mengikuti gerak tubuhnya. Suara langkahnya samar-samar terdengar di antara riuh pesta, tetapi cukup untuk membuat Hang Tuah menoleh. Saat pandangan mereka bertemu, waktu seolah berhenti sejenak. Dua sahabat lama yang pernah berbagi mimpi kini berdiri di sisi sejarah yang berbeda.  Hang Jebat menghampiri dengan langkah mantap.



“Hang Tuah,” ujar Jebat dengan nada yang sarat makna, sebuah senyum kecil tersungging di wajahnya. “Tak kusangka, kau benar-benar ada di sini.”  


“Tak kusangka kita akan bertemu lagi, kawan lama.”  


Tuah meletakkan cawan minumannya dengan tenang, namun tatapan matanya tajam seperti elang yang mengawasi mangsanya. “Hang Jebat,” balasnya, pendek tapi penuh arti. “Kabar tentangmu sebagai panglima baru sudah sampai ke telingaku. Selamat atas pengangkatanmu sebagai panglima. Kabar itu cepat menyebar.”  


“Terima kasih,” Jebat duduk di samping Tuah tanpa menghiraukan tatapan prajurit lain yang memandang mereka dengan penuh rasa ingin tahu. “Bukit Batu memang tak sebesar Malaka, tapi di sini aku merasakan kebebasan. Kebebasan untuk memperjuangkan keadilan yang sesungguhnya”


Tuah menarik napas panjang. “Keadilan yang kau maksud, apakah itu untuk rakyat, atau untuk ambisi pribadi?” tanyanya tajam.  


Jebat tersenyum sinis. “Keadilan itu sering kali dibatasi oleh kekuasaan, Tuah. Kau tahu itu. Bahkan di Malaka, keadilanmu tidak lebih dari alat bagi raja.”  


Tuah menatap Jebat dengan serius. “Aku melayani raja karena itulah tanggung jawabku. Tapi aku juga tak akan diam jika ada yang menyimpang dari keadilan sejati.”  


Jebat terkekeh kecil. “Kau masih seperti dulu, Tuah. Selalu setia pada sistem. Tapi ingatlah ini, sahabatku. Kadang, untuk mencapai keadilan sejati, kita harus menghancurkan tatanan yang korup.”  



Tuah menyilangkan tangan, matanya menyipit sejenak sebelum menjawab, “Keadilan apa yang kau maksud, Jebat? Untuk rakyat? Atau untuk kepuasan dirimu sendiri?”  


Jebat tertawa kecil, suaranya rendah tapi penuh kegetiran. “Kau masih seperti dulu, Tuah. Selalu setia pada titah seorang raja. Tidakkah kau lelah menjadi alat dari kekuasaan?”  


“Setia adalah kewajiban seorang pendekar,” jawab Tuah tegas. “Dan setia pada yang benar adalah jalan hidupku.”  


“Aku menghormati kesetiaanmu,” balas Jebat, kali ini dengan nada yang lebih lembut. “Tapi lihatlah kenyataan, sahabatku. Kadang-kadang, tatanan harus dihancurkan agar keadilan sejati dapat tegak. Kau tahu betapa korupnya istana Malaka.”  


Sejenak, keheningan menyelimuti mereka. Di kejauhan, suara seruling berganti dengan dentuman gong besar, menandakan dimulainya pengumuman dari Datuk Laksmana. Sorak-sorai mereda ketika Datuk berdiri di panggung, suaranya menggema mengisi balai besar.  


“Wahai para prajurit Bukit Batu, malam ini kita merayakan kemenangan. Namun, kemenangan ini hanyalah awal. Malaka telah mengirimkan ancaman, berniat menundukkan tanah kita. Kita harus bersatu, bersiap mempertahankan kebebasan kita!”  


Teriakan dukungan menggema, namun di antara suara-suara itu, Hang Jebat dan Hang Tuah tetap duduk dalam diam. Pandangan mereka bertemu sekali lagi. Kali ini, bukan sebagai sahabat, melainkan sebagai dua pendekar yang memegang teguh jalan hidup masing-masing. Dalam hati, keduanya tahu bahwa pertemuan ini bukanlah sekadar nostalgia masa lalu.  


“Tuah,” Jebat berbicara pelan, hampir seperti bisikan. “Mungkin suatu hari, kau dan aku harus berhadapan. Tapi aku ingin kau tahu satu hal—segala yang kulakukan, selalu untuk kebenaran yang aku yakini.”  


Tuah menatapnya lama sebelum menjawab, “Dan aku akan selalu memegang keadilan yang kupercaya. Semoga takdir memberikan kita kesempatan untuk saling memahami, bukan saling menghancurkan.”  


Namun, di dalam hati masing-masing, mereka tahu bahwa malam ini adalah awal dari pertempuran besar. Pertempuran yang bukan hanya soal pedang, tetapi juga tentang hati, kepercayaan, dan jalan hidup.  


Saat itu, mata Jebat dan Tuah bertemu kembali, namun kini bukan sebagai sahabat lama, melainkan sebagai dua pendekar dengan pandangan berbeda tentang keadilan. Dalam diam, keduanya tahu bahwa jalan mereka mungkin akan berujung pada pertarungan besar, bukan hanya demi kerajaan masing-masing, tetapi juga untuk membuktikan siapa yang benar di antara mereka.  


Di luar balai, angin malam berembus membawa bisikan perpecahan yang akan mengubah sejarah dua pendekar besar ini selamanya. 


Dan malam itu, angin Bukit Batu membawa pesan: bahwa pertemuan Hang Jebat dan Hang Tuah bukanlah kebetulan, melainkan awal dari babak baru dalam sejarah dua pendekar besar ini.




No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...