Cerita 1: Lancang Kuning dan Kerajaan Bukit Batu
Di bawah langit lembayung senja, Desa Bukit Batu berdiri dengan kokoh sebagai pusat kejayaan Kerajaan Riau. Desa itu dikelilingi hutan lebat dan perairan yang biru berkilauan.
Di balai besar yang dihiasi ornamen ukiran rumit, Datuk Laksmana, sang penguasa kerajaan, duduk di atas singgasana berlapis kain sutra emas. Tubuhnya tegap, sorot matanya penuh ketenangan. "Keadilan adalah tiang sebuah kerajaan," ucapnya tegas dalam pertemuan dengan para panglima. Suaranya bergema, membuat para hadirin terdiam penuh hormat.
Di sisi kanan sang Datuk, berdiri Panglima Umar, seorang pria berwajah teduh dengan alis tebal dan sorot mata tajam. Ia dikenal sebagai prajurit yang tangguh, setia, dan bijaksana. “Tuanku, selama nyawa masih di raga, saya akan melindungi kerajaan ini dengan segala daya,” kata Umar dengan nada mantap, membungkuk penuh hormat.
Namun, berbeda dengan Umar, Panglima Hasan berdiri di sudut ruangan, matanya menyipit penuh perhitungan. Tubuhnya tegap, tetapi ada aura kelicikan yang sulit disembunyikan. "Tuanku," Hasan angkat bicara, senyum kecil tersungging di bibirnya, "Terkadang, kekuasaan tak hanya bisa dijaga dengan keadilan, tetapi juga dengan ketegasan yang tak kenal belas kasih."
Datuk Laksmana mengangguk perlahan, memandang Hasan dengan sorot mata penuh arti. “Ketegasan harus bersanding dengan kebijaksanaan, Panglima Hasan. Tanpa itu, kita bukan pemimpin, melainkan penindas.”
Kabar dari Malaka
Suatu sore yang tenang, seorang utusan dari Raja Malaka, kerajaan vasal Majapahit, tiba dengan membawa pesan penting. Ia melangkah masuk ke balai besar dengan jubah berwarna merah marun, menyiratkan wibawa. "Datuk Laksmana," katanya dengan suara lantang, "Raja Malaka menuntut upeti lebih besar tahun ini. Jika tidak, kami akan mengambilnya dengan kekuatan.”
Para menteri dan panglima saling pandang. Ketegangan terasa di ruangan itu. Umar maju selangkah, wajahnya penuh emosi, tetapi tetap sopan. “Tuanku, permintaan mereka sudah melampaui batas. Jika kita menyerah, apa lagi yang tersisa dari martabat kita?”
Hasan, dengan senyum tipis, menyela. "Namun, apakah kita siap menghadapi kekuatan Malaka yang begitu besar? Mungkin, ada cara lain untuk mengulur waktu..."
Datuk Laksmana mengangkat tangannya, meminta semua diam. "Kita tidak akan tunduk. Kerajaan Riau dibangun di atas keberanian dan kehormatan. Jika perang menjadi pilihan mereka, maka kita akan menyambutnya dengan keberanian pula."
Bab 2: Cinta yang Terbelah di Bukit Batu
Langit senja memancarkan semburat jingga yang bercampur dengan lembayung ungu, seolah merayakan pernikahan yang tengah berlangsung di pelabuhan kecil. , menjadi saksi bisu dari pesta yang megah. Umar, pria bertubuh tegap dengan senyum yang mampu memadamkan badai, menggenggam tangan Zubaidah. Gadis itu, dengan kecantikannya yang bagai rembulan penuh, membuat semua mata terpaku. Setiap gerakan, setiap senyuman yang ia berikan, memancarkan pesona yang sulit dilukiskan kata-kata.
Namun, di antara sorak sorai dan denting gelas, ada tatapan yang menyimpan luka mendalam. Hasan, sang panglima perang yang gagah, berdiri di sudut ruangan. Ia menegakkan tubuhnya, tetapi matanya yang kelam tak mampu menyembunyikan badai di dalam dadanya. Cintanya pada Zubaidah, yang selama ini ia jaga sebagai rahasia, kini hancur menjadi serpihan kecil. Wanita yang selalu ia bayangkan sebagai pendamping hidupnya kini resmi menjadi milik sahabatnya sendiri.
Hasan mengepalkan tangannya erat, seolah mencoba menahan ledakan di hatinya. Dalam bisikan nyaris tak terdengar, ia berkata, "Cinta ini... seharusnya milikku. Jika Umar yang memilikinya, aku akan merebutnya, bahkan jika harus melewati lautan darah."
***
Hari-hari berlalu, namun rasa iri dan hasrat balas dendam Hasan kian menguasainya. Ia mulai menenun rencana gelap dengan cermat.
Malam itu, langit kelabu. Angin membawa bisikan rahasia yang tak bisa dicerna oleh manusia biasa, namun Hasan mendengarnya jelas di hatinya. Di ruang gelap dengan lilin yang berkedip, ia duduk berhadapan dengan Pawang Domo. Wajah tua peramal itu penuh kerut, seperti peta rahasia masa lalu. Hasan, dengan suara rendah yang berlapis madu beracun, berbisik.
“Pawang, rakyat mempercayai mimpimu. Mereka mendengar suaramu lebih lantang daripada titah raja sekalipun. Aku membutuhkan bantuanmu untuk menciptakan mimpi yang akan mengguncang kerajaan ini.”
Pawang Domo memandangnya tajam, membaca niat di balik mata Hasan yang gelap. “Apa yang kau inginkan, Panglima?” tanyanya, suaranya serak seperti angin yang menerpa daun kering.
Hasan menyeringai. “Katakan pada mereka bahwa engkau bermimpi tentang ancaman besar di lautan. Bahwa satu-satunya cara untuk menyelamatkan kita adalah membangun Lancang Kuning—kapal terbesar, terkuat, dan paling megah yang pernah ada. Datuk Laksmana akan menuruti kata-katamu tanpa ragu.”
Pawang Domo diam sejenak, menimbang-nimbang antara kehormatan dan ketakutannya pada Hasan. Namun, pada akhirnya, bayaran emas dan janji kekuasaan lebih menggoda daripada nuraninya.
“Baiklah,” gumamnya. “Aku akan mengabarkan mimpi itu.”
Lewat jaringannya, ia menyebarkan rumor buruk tentang Umar, menuduhnya sebagai pengkhianat yang menjual rahasia kerajaan kepada musuh. Rumor itu menyebar seperti api di padang kering.
Di sudut istana, Zubaidah memandang ke luar jendela, wajahnya dihiasi senyum yang mulai pudar. "Apa yang sebenarnya terjadi, Umar?" gumamnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa suaminya tidak bersalah. Tapi suara-suara di luar semakin keras, menekan keyakinannya.
Ketika desas-desus sampai ke telinga Datuk Laksmana, yang selama ini adalah mentor sekaligus pelindung Umar, keraguan mulai mengisi pikirannya. Datuk memanggil Umar ke aula kerajaan.
"Umar," kata Datuk dengan nada yang penuh kehati-hatian, "kau tahu aku mempercayaimu. Namun, tuduhan-tuduhan ini tidak bisa diabaikan begitu saja."
Umar, dengan tatapan tegas namun berbalut kesedihan, menjawab, "Datuk, aku bersumpah demi kehormatan dan nyawaku, aku tidak bersalah. Seseorang mencoba menjatuhkanku."
Namun, kecurigaan itu terus tumbuh, menggerogoti hubungan yang selama ini kuat. Bahkan Zubaidah, yang sebelumnya tak tergoyahkan, mulai dihantui keraguan.
***
Suatu malam, ketika bulan purnama bersinar terang di langit, Hasan memanfaatkan situasi. Ia mengajak Zubaidah bertemu di Bukit Batu, sebuah tempat sunyi yang dikelilingi oleh desir angin dan nyanyian jangkrik. Zubaidah, meski ragu, menerima ajakan itu. Hasan telah berjanji untuk memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya tentang Umar.
Zubaidah tiba di bukit dengan selendang biru membalut bahunya. "Apa maksudmu memintaku ke sini, Hasan?" tanyanya, matanya yang biasanya lembut kini penuh kehati-hatian.
Hasan menarik napas dalam-dalam, seolah berjuang mengendalikan perasaannya. Dari sakunya, ia mengeluarkan beberapa gulungan kertas. "Ini, Zubaidah. Bukti bahwa Umar telah bersekongkol dengan musuh. Surat-surat ini... menunjukkan semua rahasia yang ia bagikan."
Zubaidah mengambil gulungan itu dengan tangan gemetar. Ia membaca dengan seksama, dan setiap kata yang tertulis terasa seperti jarum yang menusuk hatinya. Matanya mulai basah, tetapi ia tetap berdiri tegak. "Mengapa kau memberitahuku ini, Hasan?" tanyanya lirih.
Hasan mendekat, suaranya berubah menjadi nada lembut yang merayu. "Karena aku peduli padamu, Zubaidah. Aku tidak ingin kau terluka lebih dalam. Umar bukanlah pria yang kau pikirkan. Aku... aku hanya ingin kau bahagia."
Air mata jatuh di pipi Zubaidah. Ia menggeleng pelan, seolah menolak kenyataan yang dipaparkan di hadapannya. "Tidak... ini tidak mungkin," bisiknya, namun keraguan sudah mulai merayap di hatinya.
Keesokan harinya, Zubaidah kembali ke istana dengan hati yang koyak. Ia memandang Umar dari kejauhan, pria yang selama ini ia cintai. Namun rasa percaya yang dulunya menjadi fondasi cinta mereka kini mulai goyah. Dengan berat hati, ia memutuskan untuk meninggalkan Umar, berharap itu akan mengakhiri semua tekanan yang melingkupi mereka.
Umar, yang mendapati Zubaidah pergi, merasa seluruh dunianya runtuh. Ia memandang ke langit, mencoba menahan air matanya. "Mengapa, Zubaidah? Mengapa kau memilih untuk mempercayai kebohongan itu?" tanyanya pada udara kosong.
Namun Umar tidak menyerah. Dengan semangat yang tersisa, ia bersumpah untuk membersihkan namanya. Bersama beberapa sahabat setianya, ia mulai menyusun langkah demi langkah untuk mengungkap kebenaran, yakin bahwa cinta sejatinya akan kembali ketika semua dusta tersingkap.
Pertempuran Sengit
Beberapa pekan kemudian, pasukan Majapahit tiba di perairan Riau dengan kapal-kapal besar. Di pelabuhan, Lancang Kuning bersiap dengan layar yang dikembangkan penuh wibawa. Di atas dek, Umar memberi aba-aba kepada para prajurit.
“Siapkan senjata! Jangan biarkan mereka melewati garis pertahanan!” serunya lantang.
****Bab 3: Konspirasi di Balik Lancang Kuning**
Berita tentang mimpi Pawang Domo menyebar seperti api di padang ilalang, menyulut rasa takjub dan harapan di hati rakyat. Dari anak-anak kecil yang bermain di tepi pantai hingga para bangsawan di balairung istana, semua berbicara tentang Lancang Kuning, kapal megah yang digadang-gadang menjadi lambang kejayaan kerajaan. Di tengah hiruk-pikuk itu, Pawang Domo berdiri di sisi Datuk Laksmana dengan tatapan penuh keyakinan, seolah mimpi itu adalah titah dari langit.
Namun di balik segala euforia, Zubaidah merasa hatinya dirundung kegelapan. Ia kerap terbangun di tengah malam dengan napas tersengal, mimpi buruk tentang kapal itu tenggelam menghantui tidurnya. Dalam bayangan mimpinya, ia melihat ombak hitam yang ganas menelan Lancang Kuning, dan di antara jerit suara badai, ia melihat Umar—lelaki yang diam-diam mengisi relung hatinya—terseret dalam arus tanpa harapan kembali.
Suatu malam, Zubaidah berdiri di tepi jendela kamarnya, angin laut membawa harum asin yang menenangkan namun sekaligus menggelisahkan. Pandangannya menerobos kegelapan, menyisir laut yang luas dan penuh misteri. “Ada sesuatu yang salah,” bisiknya, nyaris tak terdengar oleh dirinya sendiri. Matanya yang berbinar biasanya kini tampak buram, penuh dengan kekhawatiran yang tak mampu ia ungkapkan pada siapa pun.
Keesokan harinya, kabar baru menyusup ke dalam tembok istana. Bathin Sanggoro, pemimpin desa Bukit Batu, melarang nelayan setempat mencari ikan di perairan Tanjung Jati. Larangan itu mengejutkan banyak pihak, terutama karena Tanjung Jati adalah sumber kehidupan banyak keluarga di kerajaan. Desas-desus mengatakan bahwa Bathin Sanggoro bersekutu dengan kekuatan asing yang ingin menggagalkan pembangunan Lancang Kuning.
Datuk Laksmana memanggil Umar ke ruangannya, lelaki muda itu berdiri tegap meski hatinya penuh dengan tanya. “Kau harus pergi ke Bukit Batu,” perintahnya. “Cari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Stabilitas kerajaan ini bergantung pada bagaimana kita menangani masalah ini.”
Mendengar itu, dada Zubaidah seolah dipenuhi ribuan jarum. Umar akan pergi, menyusuri jalan yang penuh bahaya, menuju tempat yang hatinya peringatkan sebagai awal dari tragedi. Namun ia tahu, ia tak bisa menghentikannya. Umar bukan hanya pemuda yang ia cintai diam-diam, ia juga prajurit yang setia pada kerajaan.
Ketika malam tiba, Zubaidah menyelinap ke dermaga, tempat Umar tengah mempersiapkan perjalanannya. Cahaya rembulan jatuh di wajahnya yang teduh, memberikan kilau lembut pada sorot mata Umar yang penuh tekad.
“Umar,” panggil Zubaidah dengan suara pelan, namun cukup untuk membuatnya menoleh.
“Zubaidah? Ada apa malam-malam begini?” tanya Umar, sedikit terkejut.
Zubaidah terdiam, menahan semua rasa yang bergejolak di dadanya. Ia ingin berkata banyak hal—meminta Umar membatalkan perjalanan, mengatakan bahwa hatinya tak mampu kehilangan dirinya, atau sekadar memohon agar ia berhati-hati. Namun yang keluar dari bibirnya hanyalah, “Hati-hati di sana. Aku punya firasat buruk.”
Umar tersenyum, senyum yang selalu membuat dunia Zubaidah terasa lebih ringan. “Aku akan baik-baik saja. Doakan aku, Zubaidah.”
Ia mengangguk perlahan, menatap Umar yang perlahan menjauh menuju kapal yang akan membawanya ke takdir yang belum diketahui. Dalam hati, Zubaidah berjanji, jika sesuatu menimpa Umar, ia akan melakukan segalanya untuk membawanya kembali, apapun risikonya. Di malam itu, dua hati yang diam-diam saling terhubung mulai terombang-ambing dalam badai konspirasi yang akan menguji cinta, kesetiaan, dan keberanian mereka.
**Bab 4: Malam Purnama dan Pengorbanan**
Malam itu, langit Bukit Batu seolah menampilkan lukisan surga. Bulan purnama menggantung penuh di atas cakrawala, memancarkan sinarnya ke laut yang tenang. Ombak kecil berkilauan seperti taburan berlian. Di pelabuhan, suasana riuh oleh tawa dan kegembiraan rakyat yang merayakan peluncuran Lancang Kuning, kapal megah yang disebut-sebut sebagai mahakarya kerajaan.
Musik gamelan mengalun lembut, mengiringi tarian para penari yang bergerak anggun di bawah cahaya obor. Aroma rempah dari hidangan tradisional memenuhi udara, menyatukan rakyat dalam euforia. Namun, di tengah pesta, Zubaidah berdiri sendiri di sudut pelabuhan. Matanya menatap kapal besar itu dengan gelisah, firasat buruk berdenyut di hatinya sejak pagi.
“Kenapa rasanya malam ini begitu menyesakkan?” gumam Zubaidah, tangannya memegang perut buncitnya seolah melindungi buah hati yang tengah dikandungnya.
Suara dentuman gong yang nyaring mengalihkan perhatiannya. Saat itu, tali tambang besar yang menahan Lancang Kuning dilepas, dan semua mata terpaku pada kapal yang seharusnya mulai meluncur ke laut. Namun, keajaiban yang dinanti tak terjadi. Lancang Kuning tetap diam di tempatnya, seolah tertambat oleh kekuatan tak terlihat.
Bisik-bisik kebingungan mulai terdengar di antara kerumunan. Datuk Laksmana, dengan jubah kehormatannya, melangkah maju. “Pawang, apa yang terjadi?” tanyanya, nadanya tenang namun tegas.
Pawang Domo berdiri dengan wajah tegang. Tangannya gemetar saat ia menunduk dalam-dalam. “Hamba menerima petunjuk dari arwah leluhur, Yang Mulia,” katanya dengan suara berat. “Lancang Kuning tidak akan bergerak tanpa pengorbanan. Seorang perempuan hamil anak pertama harus dipersembahkan agar kapal ini dapat berlayar.”
Kerumunan yang semula gaduh mendadak sunyi. Hawa dingin seolah menyusup di antara mereka, menggantikan kegembiraan dengan rasa takut. Datuk Laksmana menatap Pawang dengan mata tajam.
“Pengorbanan semacam itu tidak masuk akal!” bentaknya. Namun, ia segera terdiam, menyadari siapa yang dimaksud oleh ramalan itu. Zubaidah, istri dari anak angkatnya yang paling setia, Umar, adalah satu-satunya perempuan yang sedang mengandung anak pertama di kerajaan.
Datuk Laksmana memejamkan matanya, berusaha menahan perasaan yang berkecamuk. “Tidak,” katanya dengan tegas. “Aku tidak akan mengorbankan Zubaidah. Cari solusi lain.”
Namun, rakyat mulai resah. Beberapa orang berbisik, menyebutkan nama Zubaidah, sementara yang lain mulai menudingnya sebagai alasan kegagalan Lancang Kuning.
Zubaidah mendengar bisik-bisik itu. Tubuhnya gemetar, tapi ia tetap melangkah maju mendekati Datuk Laksmana. Wajahnya yang pucat terlihat tenang, meskipun hatinya remuk.
“Yang Mulia,” katanya dengan suara lembut namun tegas. “Jika ini adalah takdirku demi kebaikan kerajaan, aku rela. Jangan biarkan rakyat menderita karena aku.”
Kata-kata itu menusuk hati Datuk Laksmana. Ia menundukkan kepala, tak mampu berkata-kata. Namun, sebelum keputusan apapun bisa diambil, suara berat yang penuh amarah memecah suasana.
“Tidak ada yang akan menyentuh Zubaidah!”
Semua kepala menoleh ke arah suara itu. Umar berdiri di atas dermaga, pedangnya terhunus, matanya penuh amarah bercampur kepedihan. Langkahnya tegas saat ia berjalan ke arah Zubaidah, melindunginya dengan tubuhnya yang kekar.
“Aku tidak peduli dengan ramalan atau arwah leluhur,” teriak Umar. “Aku tidak akan mengorbankan istriku untuk takhayul!”
Kerumunan menjadi gaduh. Ada yang mendukung Umar, menyerukan agar pengorbanan dihentikan, sementara yang lain mendesak agar ritual dilanjutkan demi keselamatan kerajaan. Ketegangan semakin memuncak, hingga suara tawa pelan namun dingin terdengar dari belakang kerumunan.
Hasan muncul dari bayangan, langkahnya tenang, namun senyumnya penuh dengan kemenangan tersembunyi. “Sungguh mengharukan,” katanya dengan nada sinis. “Namun, Umar, ini bukan tentang perasaanmu. Ini tentang menyelamatkan kerajaan.”
Umar menatap Hasan dengan tajam. “Kau… Kau pasti ada di balik semua ini!” bentaknya.
Hasan tertawa kecil. “Kau terlalu paranoid, Umar. Aku hanya ingin memastikan Lancang Kuning dapat berlayar demi melindungi kerajaan kita. Jika itu membutuhkan pengorbanan, maka itu harga yang harus kita bayar.”
“Pengorbanan? Kau hanya ingin menghancurkan keluargaku!” Umar maju, pedangnya terangkat, siap menyerang.
Zubaidah memegang tangan Umar, menghentikannya. “Umar, hentikan. Ini bukan saatnya bertindak gegabah.” Suaranya lembut, namun penuh keteguhan.
“Tidak, Zubaidah!” Umar memalingkan wajahnya, air mata meluncur di pipinya. “Aku tidak akan kehilanganmu.”
Di tengah kekacauan itu, Zubaidah melangkah maju, berdiri di antara Umar dan Hasan. Ia menatap Hasan dengan tajam, matanya penuh api keberanian yang sebelumnya tersembunyi.
“Jika kau ingin menghancurkan keluargaku, kau harus melawan cintaku pada Umar terlebih dahulu,” katanya. “Aku mungkin seorang perempuan, tapi cintaku lebih kuat dari rencanamu yang penuh tipu daya.”
Hasan terdiam sejenak, tak menyangka Zubaidah akan menghadapi dirinya dengan begitu berani. Namun, sebelum ia sempat menjawab, gemuruh terdengar dari arah laut. Ombak besar tiba-tiba datang, menghantam dermaga, membuat semua orang terdiam.
Lancang Kuning, tanpa disentuh siapa pun, perlahan mulai meluncur ke laut, seolah mendapat dorongan dari kekuatan yang tak terlihat. Semua orang menahan napas, menyaksikan keajaiban itu.
Zubaidah menatap kapal yang perlahan menjauh, lalu berbisik, “Cinta dan keberanian lebih kuat dari segala tipu muslihat.”
Namun, ia tahu ini belum berakhir. Kegelapan yang mengintai masih ada, dan pengorbanan sejati belum terungkap sepenuhnya.
“Aku akan kembali secepat mungkin,” kata Umar sambil mengelus lembut perut Zubaidah yang semakin besar. Wajahnya penuh kekhawatiran, namun ia mencoba menyembunyikannya dengan senyuman.
“Berhati-hatilah,” jawab Zubaidah dengan suara pelan. Matanya memohon agar Umar membatalkan perjalanan itu, namun ia tahu suaminya tidak akan mundur dari tugas.
Malam itu, Zubaidah berdiri di tepi dermaga, menyaksikan Lancang Kuning berlayar ke kegelapan, membawa Umar dan seluruh harapannya. Hatinya berbisik bahwa ini bukan sekadar perjalanan biasa.
Malam itu juga, bulan purnama menggantung megah di langit, cahayanya membias lembut di permukaan laut yang tenang. Angin malam membawa aroma garam dan suara ombak berkejaran, seolah mengiringi kegelisahan Umar yang berdiri di tepi pelabuhan. Pandangannya menatap jauh ke cakrawala, mencari jawaban atas dilema yang menghimpit hatinya. Sebagai pemimpin, ia terperangkap di antara tanggung jawabnya terhadap rakyat dan cintanya kepada Zubaidah.
***
Hari-hari berlalu dalam kehampaan. Zubaidah menghabiskan waktunya di pantai, duduk diam menatap cakrawala, berharap dapat melihat Lancang Kuning kembali. Namun yang datang bukanlah kabar baik, melainkan pertemuan dengan seorang wanita tua misterius.
Wanita itu muncul tiba-tiba, mengenakan kain lusuh yang berkibar diterpa angin laut. Mata tuanya bersinar dengan kekuatan yang membuat Zubaidah merinding.
“Anak muda,” kata wanita itu dengan suara yang terdengar seperti gumaman ombak. “Kau tak bisa hanya duduk diam di sini. Ada konspirasi besar yang sedang dirancang, dan kau adalah kunci untuk menghentikannya.”
Zubaidah mengerutkan dahi, bingung sekaligus takut. “Apa maksudmu, Nek? Aku hanya seorang wanita. Apa yang bisa kulakukan?”
Wanita tua itu tersenyum tipis, senyum yang sarat dengan rahasia. “Jangan pernah remehkan kekuatan cinta dan keberanian, anakku. Kegelapan sedang mengintai Lancang Kuning, dan jika kau tidak bertindak, orang-orang yang kau cintai akan binasa. Percayalah pada instingmu.”
Zubaidah tertegun, namun kata-kata wanita itu terus terngiang di kepalanya. “Siapa kau sebenarnya?” tanyanya, namun wanita itu hanya tertawa kecil sebelum beranjak pergi, lenyap di balik kabut pantai.
***
Ketakutan dan tekad bergulat dalam dada Zubaidah. Ia tahu bahwa dirinya harus mencari kebenaran di balik mimpi buruk dan ramalan yang menghantuinya. Dengan keberanian yang tumbuh dari cintanya pada Umar, ia memutuskan untuk menyelidiki rahasia yang tersembunyi di balik Lancang Kuning, tanpa tahu bahwa langkahnya akan membawa ia ke jantung kegelapan yang mengancam menghancurkan segalanya.
**Bab 5: Pengkhianatan yang Mengoyak Hati**
Matahari mulai tenggelam di cakrawala ketika Umar tiba kembali di Bukit Batu. Wajahnya yang biasa dihiasi senyum kelegaan kini tampak dipenuhi rasa lelah. Perdamaian yang telah terjalin dengan Bathin Sanggoro menjadi angin segar bagi rakyatnya, dan Umar merasa telah menunaikan tanggung jawabnya sebagai pemimpin. Namun, takdir seolah menyimpan kejutan lain yang mengintai dalam gelap.
Ketika ia menjejakkan kaki di pelabuhan, seorang prajurit mendekatinya dengan tergesa-gesa. Wajahnya pucat, bibirnya gemetar saat menyampaikan kabar buruk.
"Tuanku... terjadi kekacauan. Hasan menyebarkan fitnah... menghasut rakyat bahwa kau adalah pemberontak."
Umar mematung, wajahnya berubah tegang. Pikiran pertamanya melayang pada Zubaidah, istrinya yang tengah mengandung. Ia tak sempat lagi menikmati kemenangan, karena bayangan bahaya kini membayangi cinta dan keluarganya.
Di sisi lain, Zubaidah duduk termenung di kamarnya. Sebuah pelita kecil menerangi wajahnya yang diliputi kecemasan. Hatinya terusik oleh firasat buruk. Ia tahu badai sedang berkumpul, tapi ia tak menyangka bahaya itu akan mengetuk pintunya malam ini.
Sebuah bayangan gelap menyelinap masuk melalui jendela yang terbuka. Hasan muncul dari kegelapan, wajahnya terpahat oleh amarah dan obsesi. Ia mendekati Zubaidah perlahan, suaranya seperti bisikan ular.
“Tinggalkan Umar,” katanya tajam, matanya memancarkan api kebencian. “Aku bisa memberimu segalanya yang tak pernah ia mampu. Kekayaan, kekuasaan… dan cinta yang sejati.”
Zubaidah berdiri, tubuhnya gemetar tapi suaranya tetap kokoh. “Cinta sejati?” Ia menatap Hasan dengan mata penuh keberanian. “Cinta sejati tidak memaksa dan tidak mengancam. Aku adalah istri Umar, dan hanya dia yang aku cintai.”
Jawaban itu menghancurkan harga diri Hasan. Ia melangkah maju dengan kasar, lalu menarik belati dari balik pakaiannya. Tapi sebelum belati itu sempat menghunus, suara langkah cepat menggema dari balik pintu. Umar muncul seperti badai, matanya membakar penuh kemarahan.
“Hasan!” serunya, suaranya menggelegar seperti petir.
Pertarungan sengit pun pecah. Umar dan Hasan saling menerjang seperti dua harimau yang memperebutkan wilayah. Belati Hasan berkilau di bawah cahaya pelita, tapi Umar, dengan kekuatan cinta dan tanggung jawab yang membara, tidak gentar. Zubaidah hanya bisa memegangi dadanya, berdoa agar suaminya selamat dari pertarungan ini.
Sementara itu, jauh di dalam hutan, Pawang Domo menari di bawah cahaya bulan. Ia melantunkan mantra kuno dengan suara yang menyeramkan, memanggil roh-roh jahat untuk melaksanakan rencananya. Asap dupa memenuhi udara, mengiringi langkah-langkah ritualnya.
Kabar pengakuan Hasan membuat Datuk Laksmana murka. Ia memerintahkan seluruh pasukannya untuk memburu Pawang Domo. Di tengah kemarahan itu, Zubaidah mendekati Umar dengan hati yang penuh rasa bersalah.
“Maafkan aku, Kakanda,” katanya lirih, air mata mengalir di pipinya. “Karena aku, kau harus menghadapi semua ini.”
Umar menatapnya dalam-dalam, lalu menggenggam tangannya erat. “Kau tidak bersalah, Zubaidah. Cinta kita telah diuji, dan kita berhasil melewatinya. Bersamamu, aku bisa menghadapi segalanya.”
Zubaidah tersenyum kecil, meski air matanya terus mengalir. Dalam pelukan Umar, ia merasakan cinta yang tulus dan tak tergoyahkan.
Bab 6: Akhir yang Tragis
Di pagi berikutnya, Lancang Kuning akhirnya diluncurkan. Kapal megah itu melaju dengan gagah di lautan lepas, membawa harapan baru bagi Kerajaan Riau. Di geladaknya, Umar dan Zubaidah berdiri berdampingan, tangan mereka saling menggenggam erat. Ombak yang berkejaran menjadi saksi bisu akan cinta mereka yang telah mengalahkan semua pengkhianatan.
Malam itu, pelabuhan yang seharusnya dihiasi lampu-lampu lentera dan sorak sorai kepulangan Lancang Kuning berubah menjadi arena pertumpahan darah. Hasan, dengan liciknya, berdiri di tengah kerumunan, suaranya lantang memfitnah Umar. "Lihatlah pemimpin kalian! Ia ingin merebut tahta Datuk Laksmana! Semua ini hanyalah sandiwara!"
Teriakan Hasan memicu kekacauan. Pedang terhunus, perkelahian pecah di segala penjuru. Umar berusaha mengendalikan situasi, namun suasana semakin tak terkendali. Di tengah keributan itu, Zubaidah, yang mencoba mencari Umar, tiba-tiba tergelincir ke tepi dermaga.
"Umar!" teriaknya, suaranya terputus oleh deburan ombak. Tubuhnya yang lemah dan kandungannya yang besar membuatnya tak mampu bertahan lama di air.
Mata Umar membelalak saat melihat Zubaidah terjatuh. Ia berlari secepat mungkin, menerjang kerumunan yang menghalangi jalannya. "Zubaidah!" serunya, suaranya pecah penuh kepanikan.
Namun, ketika Umar berhasil mencapai tepian dan menceburkan diri ke laut, tubuh Zubaidah sudah terkulai lemah. Dengan gemetar, Umar mengangkat tubuh istrinya ke pelukan. Bibir Zubaidah bergerak pelan, suaranya hampir tak terdengar.
"Maafkan aku, Kakanda... Aku tak bisa menemanimu lebih lama," bisiknya dengan lemah.
"Tidak, Zubaidah. Jangan bicara seperti itu!" Umar memeluknya erat, air mata membanjiri wajahnya. "Aku membutuhmu... kita membutuhkanmu."
Zubaidah tersenyum tipis, meski nyawanya perlahan memudar. "Aku selalu mencintaimu... jangan pernah lupakan itu."
Dengan napas terakhirnya, Zubaidah meninggal dalam pelukan Umar. Bulan purnama bersinar terang di atas mereka, seolah menjadi saksi bisu dari cinta yang begitu dalam namun harus berakhir tragis.
Umar, yang hancur oleh kehilangan ini, menguburkan Zubaidah di tepi pantai, di bawah pohon kelapa yang rindang. Ia menggenggam tanah di atas makam istrinya, bersumpah di bawah sinar bulan.
"Zubaidah, cintaku padamu tidak akan pernah pudar. Tapi aku tak bisa tinggal di sini lagi. Setiap sudut Bukit Batu hanya akan mengingatkanku pada kepergianmu."
Dengan hati yang remuk, Umar meninggalkan Bukit Batu. Ia berkelana dari satu tempat ke tempat lain, mencari kedamaian yang tak pernah datang.
Kembali di pelabuhan, pertarungan mencapai puncaknya. Umar akhirnya berhasil melucuti belati dari tangan Hasan dan menjatuhkannya ke tanah. Napas mereka terengah, luka-luka menghiasi tubuh mereka. Hasan tertawa kecil, darah mengalir di sudut bibirnya.
“Kau menang, Umar… Tapi kau tidak tahu segalanya,” katanya dengan suara melemah. “Akulah yang menyuruh Pawang Domo melakukan ritual itu. Semua ini untuk menghancurkan kerajaanmu, agar aku bisa merebut tahta.”
Umar tercengang, tapi ia tidak membiarkan emosinya menguasai. Ia menyeret Hasan ke penjara, di mana pengkhianat itu mengembuskan napas terakhirnya setelah mengungkap semua rahasia.
Sementara itu, rakyat yang akhirnya mengetahui kebenaran tentang Hasan murka. Mereka menyerbu rumahnya, menyeretnya keluar untuk diadili. Hasan, yang selama ini dipenuhi rasa iri dan dendam, akhirnya harus membayar mahal atas kejahatannya. Ia dihukum mati di depan rakyat yang dulu pernah ia khianati.
Pawang Domo: Ambisi dan Pengkhianatan
Pawang Domo berdiri di atas bukit kecil, angin laut meniup jubah perangnya. Pedangnya berkilat di bawah sinar bulan. Namun, meski tangan kanannya mantap menggenggam senjata, hatinya bergolak. Ia menatap api unggun pasukan Majapahit dari kejauhan, wajahnya tenggelam dalam bayangan yang dilemparkan oleh obor di tangannya.
“Andai saja aku yang memimpin kerajaan ini,” gumamnya pelan, suaranya seperti desahan angin. Dalam matanya yang kelam, terpantul hasrat yang tidak pernah ia ungkapkan. Selama ini, ia bertarung bukan demi rakyat, melainkan demi ambisinya sendiri. Tapi ia tetap maju, menebas musuh-musuh di hadapannya, sementara hatinya semakin jauh dari tanah yang seharusnya ia lindungi.
Ketika kesempatan itu datang—janji emas dari utusan Majapahit—Domo tak mampu menolak. Di bawah bayang-bayang malam, ia melangkah meninggalkan kemah pasukannya sendiri. Pedang yang ia bawa untuk melindungi Riau kini menjadi senjata pengkhianatan.
Kekalahan yang Membakar Harapan
Gelombang serangan Majapahit begitu kuat. Kapal-kapal perang mereka, dengan layar merah dan lambung hitam, menghantam pelabuhan Riau tanpa ampun. Api berkobar, memakan kayu Lancang Kuning, kapal kebanggaan rakyat Riau. Di tengah keributan itu, Pawang Domo berdiri di atas dek, wajahnya tanpa emosi, memimpin pasukan musuh untuk meruntuhkan pertahanan yang dulu ia jaga.
Datuk Laksmana, terluka dan lelah, memimpin rakyatnya mundur ke hutan. Sepanjang perjalanan, ia menatap wajah-wajah yang penuh keputusasaan: anak-anak yang menangis kelaparan, para prajurit yang kehilangan semangat, dan perempuan yang memeluk sisa-sisa harta mereka. Ia tahu, sebagai pemimpin, tanggung jawab atas kekalahan ini ada di pundaknya.
“Aku telah berjanji untuk melindungi kalian,” katanya saat akhirnya mereka berhenti di tengah hutan yang gelap. Ia berdiri di atas batu besar, memandang rakyatnya dengan tekad yang mulai bangkit. “Kekalahan ini bukan akhir. Kita akan bangkit!”
Namun, semangat itu terasa hampa tanpa jalan keluar. Hingga dari kerumunan muncul seorang pemuda dengan langkah tegap. Hang Jebat, seorang anak nelayan, berlutut di hadapan Datuk Laksmana.
“Datuk,” katanya, suaranya berat namun penuh keyakinan. “Izinkan saya bergabung. Saya mungkin bukan prajurit, tetapi saya memiliki keberanian dan cinta untuk tanah ini. Saya tak punya apa-apa, kecuali janji untuk bertarung demi Riau.”
Datuk Laksmana menatap pemuda itu. Tubuhnya kekar, kulitnya gelap karena seumur hidup terpanggang matahari laut, tetapi matanya memancarkan tekad yang tak bisa diabaikan.
Umar, tangan kanan Laksmana, melangkah maju dan menepuk pundak Jebat. “Keberanianmu adalah awal dari kemenangan kita. Selamat bergabung, Hang Jebat.”
---
Awal Perjuangan Baru
Di malam yang hening, Hang Jebat duduk di tepi sungai, mengasah pedang lamanya yang sudah tumpul. Umar mendekat dan duduk di sampingnya.
“Kau tahu,” kata Umar pelan, “banyak yang akan menganggapmu gila. Melawan Majapahit dengan kekuatan seadanya adalah tugas yang nyaris mustahil.”
Jebat tersenyum kecil, tanpa berhenti mengasah pedangnya. “Aku lebih takut melihat rakyat kita kehilangan harapan daripada menghadapi seribu pasukan Majapahit. Jika aku harus mati untuk itu, maka biarlah.”
Umar terdiam. Di balik sikap keras Jebat, ia melihat sesuatu yang jarang ia temukan di medan perang—cinta. Bukan hanya cinta pada tanah kelahiran, tetapi juga pada setiap orang yang mendiami tanah itu.
Pertarungan Hati dan Pedang
Di kubu Majapahit, Pawang Domo berdiri di dalam tendanya. Matahari baru saja terbit, tetapi gelisahnya sudah memuncak. Ia membolak-balik peta strategi, tetapi pikirannya teralihkan oleh kenangan akan Riau. Meski kini ia berpihak pada musuh, suara-suara masa lalu terus memanggilnya, terutama suara anak nelayan kecil yang dulu ia ajarkan cara bertarung.
“Hang Jebat,” bisiknya pelan. “Apakah kau juga berada di hutan itu?”
Namun, Domo menggelengkan kepala. Ia memilih ambisi, dan kini ia harus menghadapi konsekuensi dari pilihannya—termasuk bertarung melawan anak yang dulu ia anggap sebagai adik.
Di sisi lain, di hutan Riau, Jebat menatap ke arah cakrawala. Ia tahu bahwa Domo, orang yang dulu ia hormati, kini adalah musuh terbesarnya. Namun, di hatinya, ia menyimpan tekad yang lebih besar dari dendam. Ia tidak bertarung demi kebencian, tetapi demi cinta pada tanah yang ia sebut rumah.
Dan di sinilah perjuangan itu dimulai, di antara pengkhianatan, cinta, dan mimpi akan kebebasan.
Bab 7 Serangan Balik: Romansa di Tengah Perang
Malam itu, rapat perang berlangsung di bawah langit penuh bintang. Cahaya rembulan yang temaram memantul di permukaan laut, membingkai wajah-wajah yang penuh tekad. Hang Jebat berdiri di tengah, matanya bersinar tajam. “Majapahit mungkin besar, tapi kesombongan mereka adalah kelemahan. Jika kita menyerang di malam hari dengan kapal-kapal kecil, kita akan memukul mereka tepat di jantung,” katanya dengan suara rendah, namun penuh keyakinan.
Semua terdiam. Datuk Laksmana, dengan usia yang membuat wajahnya dipenuhi kerut kebijaksanaan, akhirnya tersenyum tipis. “Keberanian kita adalah senjata paling tajam,” balasnya.
Di sisi ruangan, Umar, sahabat sekaligus saudara seperjuangan Jebat, memandang pria itu dengan kagum. Umar selalu merasa Jebat memiliki sesuatu yang istimewa—bukan hanya kecerdasan, tetapi juga keberanian yang memikat hati semua orang di sekitarnya.
Ketika malam tiba, pasukan Riau bergerak seperti bayangan. Suara dayung yang membelah air terdengar seperti bisikan hantu. Hang Jebat memimpin mereka dengan tatapan mantap, sementara Umar di sisinya tak pernah lepas mengawasi.
Di tengah kekacauan serangan mendadak itu, Hang Jebat menghadapi Domo, seorang pria yang pernah ia anggap sebagai kakak. Pengkhianatan Domo terasa seperti belati yang menusuk langsung ke hatinya. “Mengapa, Domo? Kau memilih kekuasaan daripada rakyatmu sendiri?” tanya Jebat, suaranya mengandung kesedihan yang sulit ia sembunyikan.
Domo tertawa pahit, senyumnya getir. “Kau hanya anak nelayan. Apa yang kau tahu tentang ambisi?” katanya.
Namun, sebelum Domo sempat menyerang, Jebat menggerakkan pedangnya dengan cepat, mengalahkan pengkhianat itu. Saat Domo jatuh, ada keheningan sejenak di hati Jebat, bukan karena kemenangan, tetapi karena kehilangan.
Ketika fajar menyingsing, Lancang Kuning kembali berlayar. Angin laut membawa harapan baru ke setiap sudut Riau. Rakyat bersorak, menyambut kapal kebanggaan mereka. Di dek, Umar mendekati Jebat, matanya penuh emosi. “Kau adalah pahlawan sejati. Aku bangga menyebutmu saudara,” katanya sambil memeluk Jebat erat-erat.
Jebat tersenyum tipis, matanya menatap ke cakrawala. “Ini bukan hanya kemenangan kita, Umar. Ini kemenangan seluruh rakyat Riau.”
Ketika mereka kembali ke istana, Datuk Laksmana menyambut Jebat dengan tatapan penuh hormat. “Mulai hari ini, kau adalah panglima tertinggi kerajaan ini,” katanya sambil menepuk bahu Jebat.
Di bawah cahaya matahari pagi, Lancang Kuning berdiri megah di pelabuhan, layarnya yang kuning keemasan berkibar seperti bendera kemenangan. Hang Jebat menatap kapal itu dengan hati yang penuh rasa syukur. Dalam hati, ia tahu bahwa perjuangan belum usai. Namun, di balik semua itu, ada Umar yang selalu ada di sisinya, menjadi pengingat bahwa dalam setiap perjuangan, cinta dan persahabatan adalah kekuatan yang tak ternilai.
Dan begitulah, nama Hang Jebat dan Lancang Kuning menjadi legenda yang tak akan pernah pudar, menjadi simbol keberanian, pengorbanan, dan cinta yang abadi.
Lancang Kuning, kapal megah yang menjadi saksi bisu dari semua tragedi ini, tetap berlayar di lautan. Namun, bagi rakyat Bukit Batu, kapal itu tidak hanya melambangkan kejayaan. Ia juga membawa kenangan pahit tentang cinta yang berakhir tragis.
Kisah Umar dan Zubaidah hidup abadi dalam ingatan rakyat, menjadi legenda yang diceritakan dari generasi ke generasi. Sebuah kisah tentang cinta sejati, pengorbanan, dan kehilangan. Sebuah pelajaran tentang betapa berharganya cinta, meski terkadang harus berakhir dengan kesedihan.
No comments:
Post a Comment