Kerajaan Jagat Bayu masih berdiri megah di bawah langit yang kian kelabu. Di tengah keheningan istana, Raja Surya Dhirajendra duduk di balairungnya, menatap takhta kosong di sampingnya—tempat yang seharusnya ditempati oleh Arjuna Wijaya, putra tunggalnya. Takhta itu kini menjadi simbol luka, mengingatkan sang raja pada kehilangan terbesar dalam hidupnya.
Arjuna telah pergi, meninggalkan jejak cinta dan tragedi di Lembah Surya. Dunia mengenang nama putranya sebagai pangeran yang melawan takdir demi cinta. Namun bagi Raja Surya, nama itu adalah bayangan kelam yang terus menghantui malam-malamnya.
Penyesalan di Hati Seorang Raja
Raja Surya sering terjaga di malam hari, merenungi segala keputusan yang pernah diambilnya. Ia ingat betul bagaimana ia melarang Arjuna mencintai Putri Mentari, takut cinta itu akan melemahkan aliansi politiknya. Kini, setelah perang kecil dan tragedi yang merenggut nyawa Arjuna, ia bertanya-tanya apakah keputusan itu benar-benar bijaksana.
Dalam satu malam yang dingin, ia memanggil Permaisuri Saraswati, istrinya yang selalu setia mendampinginya.
“Permaisuri,” ujarnya lirih, “aku merasa seperti seorang raja yang kalah, meskipun kerajaan ini tetap berdiri. Apa gunanya mahkota ini jika aku kehilangan satu-satunya pewarisku?”
Permaisuri Saraswati memandangnya dengan lembut. “Paduka, luka ini akan sembuh seiring waktu. Arjuna mungkin telah pergi, tetapi kerajaannya tetap membutuhkan seorang penguasa. Jagat Bayu tidak bisa bertahan tanpa seorang ahli waris.”
Kata-kata itu menggugah hati Raja Surya. Ia tahu, demi masa depan Jagat Bayu, ia harus mengambil langkah yang sulit.
Keputusan untuk Menikah Lagi
Raja Surya akhirnya memutuskan untuk menikah lagi. Permaisuri Saraswati, meskipun terluka oleh keputusan ini, memahami tanggung jawab seorang raja. Ia memberikan restunya dengan tulus, mengetahui bahwa ini bukan soal cinta, tetapi soal tanggung jawab kepada rakyat dan kerajaan.
Raja Surya memanggil para penasihatnya untuk membicarakan hal ini. Patih baru yang menggantikan Jati Kusuma, seorang pria jujur bernama Wira Daksana, memberikan saran.
“Paduka,” kata Patih Wira, “ada kabar bahwa Kerajaan Sindhu Wangi menawarkan aliansi melalui pernikahan. Putri mereka, Padmi Sundari, dikenal cerdas dan penuh kebajikan. Ia bisa menjadi pendamping yang layak bagi paduka dan ibu dari penerus kerajaan.”
Setelah perundingan panjang, Raja Surya setuju. Utusan dikirim ke Kerajaan Sindhu Wangi, dan beberapa bulan kemudian, pernikahan digelar.
Putri Padmi Sundari: Harapan Baru
Padmi Sundari tiba di Istana Jagat Bayu dengan membawa cahaya baru. Wajahnya lembut, tetapi sorot matanya menunjukkan kecerdasan yang tajam. Ia segera mengambil peran sebagai permaisuri yang penuh dedikasi, tidak hanya mendampingi Raja Surya tetapi juga mendamaikan luka-luka yang masih menganga di istana.
Sikapnya yang bijaksana dan hangat membuatnya diterima oleh rakyat Jagat Bayu. Namun, di balik senyumnya, Padmi tahu bahwa ia harus menjalani tugas besar: memberikan pewaris untuk kerajaan ini, seorang anak yang dapat melanjutkan garis darah Surya Dhirajendra.
Bayangan Arjuna yang Selalu Ada
Meskipun pernikahan baru membawa harapan, bayangan Arjuna tetap hidup di hati Raja Surya. Setiap kali ia melewati taman istana, ia teringat pada putranya yang dulu berlatih memanah di bawah pohon beringin tua. Ketika ia melihat mentari tenggelam di cakrawala, ia merasa seperti melihat jiwa putranya, mengucapkan salam terakhir.
Padmi Sundari, yang memahami luka itu, sering kali mendampingi sang raja dalam keheningan. Ia tidak pernah mencoba menggantikan tempat Arjuna di hati Raja Surya, tetapi ia membawa kedamaian yang perlahan menyembuhkan luka itu.
Lahirnya Penerus Tahta
Beberapa tahun setelah pernikahan, Padmi Sundari melahirkan seorang putra, yang diberi nama Surya Parameswara. Nama itu adalah harapan dan doa, agar sang anak membawa cahaya baru bagi Jagat Bayu seperti mentari yang tak pernah padam.
Surya Parameswara tumbuh menjadi anak yang cerdas dan penuh keberanian, mengingatkan Raja Surya pada Arjuna. Namun, kali ini, sang raja bersumpah tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Ia membesarkan putranya dengan kebijaksanaan dan kasih sayang, memberinya kebebasan untuk memilih jalannya sendiri.
Warisan yang Abadi
Jagat Bayu kembali menemukan stabilitasnya. Raja Surya Dhirajendra, meskipun tidak pernah sepenuhnya melupakan luka masa lalu, mengabdikan sisa hidupnya untuk memastikan bahwa kerajaan ini tetap adikara—kuat dan berdaulat.
Nama Arjuna dan Mentari tetap hidup dalam cerita rakyat dan lagu-lagu yang dinyanyikan di pasar-pasar. Mereka adalah simbol cinta yang melampaui batas, cinta yang meskipun kalah oleh dunia, tetap abadi dalam hati rakyatnya.
Di akhir hidupnya, Raja Surya sering menghabiskan senja di taman istana, ditemani Padmi Sundari dan Surya Parameswara. Saat melihat mentari terbenam, ia tersenyum, merasa bahwa putranya tidak pernah benar-benar pergi.
Kerajaan Jagat Bayu tetap berdiri megah, membawa warisan cinta, pengorbanan, dan kebijaksanaan yang tak terlupakan.
No comments:
Post a Comment