Tetes hujan merintih ditengah kangen ku, jika usai hujan di senja ini,

ku berharap pelangi dihadirkan oleh Tuhanku, untuk mengobati rindu yang semakin meronta diujung kalbu.

Wednesday, January 15, 2025

Cinta Tak Tertarik Gravitasi bagian 2

Cinta Tak Tertarik Gravitasi bagian 2
Beberapa hari setelah percakapan di bawah pohon beringin, Dimas tak bisa berhenti memikirkan Ayu. Senyumnya, cara ia melihat dunia, dan keberaniannya menghadapi hidup dengan hati yang ringan namun dalam. Sesuatu di dalam dirinya berubah, meskipun ia belum sepenuhnya memahami apa itu.


---

Di kampus, Ayu menghampiri Dimas yang sedang asyik menatap layar laptop di perpustakaan. "Mas Dimas, aku ada undangan buat kamu," katanya sambil menyodorkan sebuah brosur kecil bergambar cat air.

"Workshop melukis?" tanya Dimas, mengangkat alis.

Ayu mengangguk antusias. "Iya! Aku salah satu fasilitatornya. Nanti kamu bakal diajarin cara melukis dan memahami emosi lewat warna. Kamu harus ikut!"

Dimas mengerutkan kening. "Tapi aku nggak bisa menggambar. Lagi pula, warna hanya tentang panjang gelombang cahaya, kan?"

Ayu tertawa kecil. "Dan aku di sini untuk ngajarin kamu kalau warna itu lebih dari itu. Anggap saja ini eksperimen baru. Siapa tahu hasilnya mengejutkan!"

Dimas ingin menolak, tapi senyum Ayu membuatnya luluh. "Baiklah, aku akan coba. Tapi jangan tertawa kalau hasil lukisanku jelek," katanya sambil tersenyum tipis.


---

Hari workshop tiba. Di sebuah ruangan penuh cat air, kanvas, dan kertas sketsa, Dimas duduk dengan canggung di antara para peserta. Ayu berdiri di depan, menjelaskan teknik dasar melukis.

"Melukis bukan soal hasil akhirnya," kata Ayu dengan penuh semangat. "Tapi soal apa yang kamu rasakan saat melakukannya."

Dimas merasa bingung tapi mulai mencoretkan kuas di atas kertas. Awalnya, ia berusaha membuat pola-pola simetris yang terencana. Namun, saat Ayu mendekat dan berkata lembut, "Cobalah lepaskan logikamu, Mas Dimas. Biarkan perasaanmu yang memandu," sesuatu di dalam dirinya retak. Untuk pertama kalinya, ia membiarkan dirinya bebas dari aturan.

Ia mencampur warna tanpa rencana, menciptakan semburat oranye, biru, dan hijau yang menyatu seperti gelombang laut di senja hari. Saat selesai, ia menatap hasilnya dengan heran. Itu bukan hanya lukisan; itu adalah perasaan yang selama ini ia sembunyikan.

Ayu melihatnya dan tersenyum. "Luar biasa, Mas Dimas. Itu bukan sekadar warna. Itu adalah kamu."

Dimas menatap Ayu, matanya berbinar. "Aku rasa... aku mulai mengerti apa yang kamu maksud."


---

Setelah workshop selesai, mereka duduk di tepi danau kampus, menikmati senja yang memantul di permukaan air. Dimas mengeluarkan lukisan kecilnya dari tas. "Aku nggak pernah menyangka bisa membuat sesuatu seperti ini," katanya pelan.

Ayu memandangnya, matanya lembut. "Aku selalu percaya kalau kamu lebih dari sekadar angka dan logika. Kamu punya hati yang besar, Mas Dimas. Hanya saja, kamu belum membukanya."

Dimas terdiam sejenak sebelum berkata, "Ayu, aku rasa aku mulai mengerti kenapa aku selalu nyaman bersamamu. Kamu membuatku merasa... seimbang. Kamu adalah dunia yang tak bisa kujelaskan, tapi selalu ingin kupahami."

Ayu tersenyum, wajahnya memerah. "Dan kamu, Mas Dimas, adalah misteri yang selalu ingin kutemukan jawabannya."

Saat itu, mereka tidak memerlukan kata-kata lagi. Senja, danau, dan kebersamaan menjadi saksi awal perjalanan mereka menuju dunia yang belum pernah mereka pahami sebelumnya—dunia yang penuh dengan warna, rasa, dan cinta.


No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...