Langit sore itu berwarna oranye keemasan. Di bawah pohon beringin tua di sudut taman, seorang pemuda bernama Dimas duduk termenung. Ia seorang mahasiswa fisika yang terkenal karena logikanya yang tajam dan wawasannya yang dalam tentang hukum-hukum alam. Namun, ada satu hal yang tak pernah ia mengerti: cinta.
Hari itu, ia sedang menunggu seseorang. Seorang gadis bernama Ayu, teman sekelas yang baru beberapa bulan dikenalnya. Ayu berbeda dari orang-orang di sekitarnya. Jika Dimas melihat dunia melalui angka dan rumus, Ayu memandangnya melalui warna, tawa, dan cerita.
Saat Ayu tiba dengan sebuah buku sketsa di tangannya, senyumnya seperti menembus segala batas logika. "Maaf, telat. Tadi aku lihat bunga yang cantik banget di jalan, jadi aku berhenti sebentar buat menggambar," katanya sambil duduk di samping Dimas.
Dimas tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan debaran di dadanya. "Bunga apa? Tidak ada bunga di taman ini yang menarik secara ilmiah," katanya, setengah bercanda.
Ayu terkekeh. "Kamu terlalu serius, Mas Dimas. Bukan soal ilmiah atau tidak. Bunga itu cantik karena membuatku bahagia saat melihatnya."
Dimas menatap Ayu, bingung sekaligus terpesona. "Tapi, apa yang membuat sesuatu dianggap cantik? Bukankah semuanya bisa dijelaskan dengan hukum alam? Cahaya, spektrum warna, mungkin juga gravitasi?" tanyanya, separuh retorik.
Ayu menatapnya dalam-dalam, lalu tersenyum hangat. "Tidak semua hal bisa dijelaskan, Mas. Sama seperti... kenapa aku merasa nyaman setiap kali ngobrol sama kamu."
Dimas terdiam. Jantungnya berdebar lebih cepat, tetapi ia tak punya jawaban untuk itu. "Kenyamanan itu bisa jadi karena resonansi pikiran atau frekuensi komunikasi," ujarnya ragu, mencoba mencari logika.
Ayu tertawa pelan. "Mas, kamu tahu nggak? Einstein pernah bilang, 'Gravitasi tidak bertanggung jawab atas orang yang jatuh cinta.' Kadang, perasaan itu cuma terjadi. Nggak perlu alasan."
Kata-kata Ayu membuat Dimas terdiam lebih lama. Ia berpikir, sepanjang hidupnya, ia selalu mencari jawaban dari segala sesuatu. Namun, di depan Ayu, semua teori tampak sederhana dan tak lagi penting.
"Kalau begitu," kata Dimas perlahan, "mungkin aku harus berhenti mencoba menjelaskan segalanya dan mulai... merasakannya?"
Ayu tersenyum lebar. "Aku rasa itu langkah yang bagus, Mas Dimas."
Dan di bawah pohon beringin tua itu, tanpa alasan yang bisa dijelaskan dengan logika, Dimas merasakan sesuatu yang lebih kuat dari gravitasi. Cinta.
No comments:
Post a Comment