Tetes hujan merintih ditengah kangen ku, jika usai hujan di senja ini,

ku berharap pelangi dihadirkan oleh Tuhanku, untuk mengobati rindu yang semakin meronta diujung kalbu.

Tuesday, November 12, 2024

air mata waktu juga

Pada suatu malam yang sunyi, seorang wanita duduk sendirian di sebuah balkon tua, ditemani hanya oleh bayangannya sendiri dan segelas teh yang sudah lama dingin. Angin malam berembus lembut, membawa aroma hujan yang tertinggal di udara. Di hadapannya, seorang pria duduk di kursi tua yang lain, wajahnya tersembunyi dalam keremangan, hanya suaranya yang terdengar tenang namun penuh misteri.

“Apa yang membuatmu begitu khawatir, Nona?” tanya pria itu pelan.

Wanita itu menatap ke langit, seolah mencari jawaban di antara bintang-bintang yang jarang. “Larut benar aku pada kekhawatiran ini, Tuan. Air mata sudah kering, tapi hatiku masih saja resah, seolah ada sesuatu yang belum usai.”

Pria itu tersenyum samar, “Bukan perkara mudah, Nona. Resah matamu itu bukan hanya sekadar air mata. Ada maksud lain di baliknya. Ada kesedihan yang tertangkap.”

Wanita itu menggigit bibirnya, menahan perasaan yang sejak lama menggerogoti hatinya. “Semalaman ini, entah kenapa air mata tak bisa berhenti, Tuan. Ada ketakutan yang kian mencekam, tapi di sisi lain, ada keraguan yang membuatku tak bisa pergi. Haruskah aku tetap bertahan?”

Pria itu mendesah, suaranya lembut namun tegas, “Jika air mata yang begitu langka akhirnya kau lepaskan, kenapa yang lain tak bisa? Apakah ada sesuatu yang lebih berharga dari hatimu sendiri, Nona?”

Wanita itu terdiam sejenak, seolah berpikir, lalu menatap pria itu dengan tatapan yang penuh luka. “Aku pernah menitipkan percaya dan ketulusan, Tuan. Tapi waktu tidak menjaganya sebaik yang kuharapkan. Haruskah aku menariknya kembali?”

Pria itu memiringkan kepala, memandangnya dengan tajam namun penuh kehangatan. “Kepada siapa kau titipkan, Nona? Bukankah waktu adalah yang paling jujur di dunia ini? Jangan salahkan waktu, karena waktu hanya mengungkapkan kebenaran.”

Wanita itu menarik napas panjang, merasakan dadanya semakin sesak. “Mungkin ini saatnya aku membenci kejujuran, Tuan. Kejujuran itu datang seperti duri, menusuk harapanku. Aku yang mendamba dengan hebatnya, kini terkalahkan oleh ragu yang tiba-tiba muncul.”

Pria itu tersenyum pahit. “Itulah cara kerja ragu, Nona. Bagaikan kerikil-kerikil kecil yang terasa lebih menyakitkan daripada batu besar yang bisa kau lihat dari jauh. Kadang, kejujuran memang menyakitkan.”

Wanita itu menunduk, menahan air mata yang hampir jatuh lagi. “Lalu, apa yang harus kulakukan, Tuan? Bagaimana cara agar hati ini terbebas dari ragu tanpa harus merasa tersakiti?”

Pria itu menatapnya dengan pandangan penuh empati, suaranya berubah lembut, seperti angin malam yang menghibur. “Mungkin caranya adalah menjujurkan diri, meragukan kejujuran waktu, namun tetap meyakini kebenaran air mata. Air mata tidak pernah berbohong, Nona.”

Wanita itu tersenyum tipis, untuk pertama kalinya ia merasa sedikit lega. “Terima kasih, Tuan. Semoga takdir tak mempermainkan perasaan kita. Semoga perasaan ini tetap berada di jalan yang seharusnya.”

Pria itu mengangguk perlahan, namun ketika wanita itu mengangkat wajahnya, pria itu sudah tak lagi ada di sana. Hanya kursi kosong yang bergoyang perlahan, seperti bayangan kehadiran yang tak pernah benar-benar ada. Hanya angin malam yang berbisik, membawa pesan-pesan dari hati yang pernah saling berbicara, namun mungkin tak pernah benar-benar bertemu.

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...