Roy menatap langit kelam dari jendelanya, berharap bisa melihat bintang yang selalu ia cari. Malam-malam tanpa bintang terasa kosong baginya, seakan cahayanya sendiri perlahan pudar. Sementara di sisi lain, Diian duduk termenung di kamarnya, bertanya-tanya apakah ada cahaya yang bisa mengusir gelap yang menguasai hatinya. Percakapan pun mengalir.
**@roykanwa:** "Malam-malam tanpa bintang sudah berakhir. :)"
**@diian_aii:** "Malam saya masih tanpa cahaya. Bisa kau tunjukkan di mana gemintang berada?"
Roy tersenyum kecil, membayangkan dirinya bisa menjadi penunjuk arah bagi Diian. Di matanya, bintang-bintang itu masih ada, meski hanya dalam imajinasi.
**@roykanwa:** "Di ujung pandangan mata. Di sudut jari telunjuk. Dalam fantasiku. Bintang-bintang menghadap ke utara, berkelap-kelip memanggil."
**@diian_aii:** "Kau melihatnya dengan memejam? Atau aku harus menggoreskan tinta untuk melihat bintangku sendiri? Di sini kelam."
Percakapan mereka semakin dalam, seperti dua jiwa yang saling memahami kegelapan masing-masing. Roy menyadari, dia pun sama kelamnya.
**@roykanwa:** "Aku membuka mata, tapi mata hati yang memejam. Hatiku juga kelam, makanya dia berkhayal. Goresan tinta? Warna apa yang nona punya?"
Namun, waktu terus beranjak, dan Roy mulai merasa cahayanya sendiri memudar. Kerinduannya, kekosongan di dalam hatinya, seolah memanggil untuk menyusul Diian ke dalam kelam yang lebih dalam.
**@roykanwa:** "Hei nona, apa kamu masih di sana? Cahayaku redup. Bintangku hilang. Kurasa aku akan menyusulmu. Tunggu aku."
**@diian_aii:** "Saya masih di sini, Tuan. Tak kemana-mana. Saya masih ingin memeluk kelam hingga hilang dalam bayangan malam."
Suara angin semakin kencang di luar jendela, seolah ikut membawa keheningan yang mereka rasakan. Seperti ada yang menunggu, seperti ada yang tak kunjung tiba. Roy ragu, apakah kegelapan ini akan bersahabat dengan mereka. Ia merasa semakin jauh dari cahaya.
**@roykanwa:** "Aku ikut, cahayaku sudah hilang. Aku ragu kelam ini akan bersahabat dengan kita. Apa di sakumu tak ada senter? Mancis? Atau apalah?"
**@diian_aii:** "Jika saya punya cahaya lain selain mata saya, pasti saya sudah menggunakannya sedari tadi. Atau kita beranjak pada lelap saja, Tuan?"
Di keheningan itu, Roy tersenyum lirih. Diian yang kelam, namun cahaya matanya yang samar tetap menuntunnya. Ia ingin meminjam sedikit terang itu, walau hanya sesaat.
**@roykanwa:** "Cahaya matamu. Boleh aku pinjam? Kantukku belum datang. Mungkin karena cahaya matamu."
**@diian_aii:** "Gunakan sesukamu, Tuan. Aku ingin memejam. Kau dapat menggunakannya hingga aku dibangunkan pagi."
Tetapi Roy merasa takut, jika Diian memejamkan mata, maka ia akan kehilangan satu-satunya cahaya di malam yang gelap ini.
**@roykanwa:** "Kalau matamu memejam, bagaimana aku melihat cahayanya?"
**@diian_aii:** "Tak bisakah saya titipkan saja? Pada semilir dingin yang dipeluk angin, mungkin? Atau pada jerit jangkrik yang memekik?"
Mereka terdiam sejenak, tenggelam dalam ketidakpastian dan ragu. Akhirnya, Roy menyerah pada rasa kantuk yang mulai merayap.
**@roykanwa:** "Bagaimana bisa cahaya mata nona dititipkan? Atau aku ikut terlelap saja bersama cahaya matamu yang semakin redup."
**@diian_aii:** "Mungkin begitu lebih baik. Semesta akan menuntunmu menemukan cahaya yang lain dalam lelapmu. Memejamlah bersama doaku :)"
Di akhir percakapan itu, hati mereka terasa sedikit lebih ringan, meski masih terjebak dalam gelap. Mereka berjanji pada diri sendiri bahwa semesta akan menuntun mereka ke cahaya yang lain, entah di mana atau kapan.
**@roykanwa:** "Semoga saja semesta di pihakku. Dan terima kasih doamu. Nona tidurlah. Semoga kita bermimpi baik."
**@diian_aii:** "Semoga :)"
No comments:
Post a Comment