Malam itu, langit Bukit Batu dihiasi bulan purnama yang bersinar terang. Cahayanya memantul di permukaan laut, menciptakan pemandangan yang begitu indah. Di pelabuhan, rakyat berkumpul merayakan peluncuran Lancang Kuning. Musik gamelan mengalun merdu, tarian-tarian tradisional memeriahkan suasana, dan aroma hidangan lezat memenuhi udara.
Namun, di balik kemeriahan itu, ada bayangan kegelisahan yang menyelimuti hati Zubaidah. Ia merasakan firasat buruk tentang malam ini. Sejak awal, ia sudah merasa ada yang tidak beres dengan pembangunan Lancang Kuning.
Saat tiba saatnya untuk meluncurkan kapal megah itu, seisi pelabuhan menahan napas. Tali tambang terlepas, namun Lancang Kuning tetap tak beranjak dari tempatnya. Rakyat yang tadinya bersorak gembira kini terdiam kaget.
"Pawang, apa yang terjadi?" tanya Datuk Laksmana dengan wajah penuh tanya.
Pawang Domo yang berdiri di sampingnya tampak gelisah. Ia menunduk dalam-dalam, lalu berkata, "Hamba menerima petunjuk. Agar Lancang Kuning bergerak, harus ada pengorbanan. Seorang perempuan hamil anak pertama harus dipersembahkan."
Datuk Laksmana terdiam mendengar kata-kata pawang. Ia tahu siapa yang dimaksud. Zubaidah, istrinya Umar, sedang mengandung anak pertama mereka. Hati Datuk Laksmana hancur berkeping-keping. Ia tidak tega mengorbankan menantunya demi sebuah kapal.
"Tidak! Aku tidak akan mengorbankan Zubaidah!" tegas Datuk Laksmana.
Rakyat yang mendengar perkataan Datuk Laksmana menjadi gaduh. Mereka tidak mengerti mengapa Lancang Kuning tidak bisa diluncurkan. Beberapa di antara mereka mulai menyalahkan Zubaidah.
Zubaidah yang mendengar percakapan itu, hatinya hancur. Ia tidak menyangka bahwa dirinya akan menjadi korban dari sebuah ritual yang kejam. Dengan langkah gontai, ia berjalan mendekati Datuk Laksmana.
"Yang Mulia," ucap Zubaidah dengan suara lembut, "Demi kebaikan kerajaan, saya rela melakukan apa pun."
Umar yang baru saja tiba di pelabuhan, mendengar perkataan Zubaidah. Hatinya hancur berkeping-keping. Ia tidak bisa membayangkan harus kehilangan istrinya. Dengan nekat, ia menarik pedangnya dan berteriak, "Tidak ada yang akan menyakiti Zubaidah!"
Suasana menjadi tegang. Rakyat terbelah menjadi dua kelompok. Ada yang mendukung Umar, ada pula yang mendukung keputusan Datuk Laksmana.
Sementara itu, Hasan menyeringai puas melihat kekacauan yang terjadi. Rencananya hampir berhasil. Ia berhasil membuat Zubaidah menjadi korban. Namun, Hasan tidak menyangka bahwa Umar akan seberani ini.
No comments:
Post a Comment