Matahari pagi memantul di atas aliran sungai yang tenang saat kapal Hang Tuah, seorang panglima yang dihormati dari Kerajaan Siak, berlayar meninggalkan dermaga istana. Angin lembut membawa harum dedaunan tropis, namun di hati Hang Tuah, angin itu menyapu kenangan yang terlalu sulit untuk dilupakan.
Ia memandang jauh ke belakang, ke arah Bukit Larangan yang menjulang di cakrawala. Di sanalah Putri Mayang, wanita yang hatinya begitu tulus, berdiri terakhir kali, melepas kepergian Hang Tuah dengan senyum yang menyembunyikan kesedihan.
“Mayang,” bisik Hang Tuah kepada dirinya sendiri, “kau adalah bintangku yang paling terang, namun jalanku adalah lautan. Bagaimana aku bisa menjanjikanmu kesetiaan, ketika ombak memanggil namaku setiap malam?”
Singgah di Dermaga Negeri Seberang
Setelah beberapa hari berlayar, Hang Tuah memutuskan untuk singgah di sebuah dermaga kecil di negeri seberang. Dermaga itu sederhana, namun penuh dengan hiruk pikuk kehidupan. Anak-anak berlarian dengan riang, pedagang menjajakan barang-barang mereka, dan suara musik tradisional mengisi udara pagi.
Saat Hang Tuah melangkah ke daratan, telinganya menangkap suara anak-anak yang menyanyikan sebuah lagu. Nada lagu itu lembut, penuh melodi yang menusuk hati.
“Mentari dan Arjuna, cinta abadi, Meski terpisah dunia, mereka tak berhenti, Langit dan bumi menangis, Namun cinta mereka tak pernah habis…”
Hang Tuah berhenti sejenak. Lagu itu menyentuh hatinya, membangkitkan kenangan yang ia coba sembunyikan di balik topeng kedewasaan. Ia menghampiri sekelompok anak yang sedang bernyanyi.
“Anak-anak,” sapa Hang Tuah dengan senyuman, “dari mana kalian belajar lagu ini?”
Seorang anak kecil dengan mata berbinar menjawab, “Ini lagu tentang Arjuna dan Mentari, Paman! Mereka saling mencintai, tetapi dipisahkan oleh perang dan kebencian.”
“Lalu bagaimana akhir cerita mereka?” tanya Hang Tuah, meskipun ia merasa sudah tahu jawabannya.
Anak itu menunduk, wajahnya muram. “Mereka meninggal, Paman. Tapi orang-orang bilang, cinta mereka hidup selamanya, seperti bintang di langit.”
Hang Tuah menghela napas panjang. Lagu dan cerita itu mengingatkannya pada Putri Mayang, yang ia tinggalkan di Bukit Larangan. Seperti Arjuna dan Mentari, ia dan Mayang juga terpisahkan oleh tugas dan takdir.
Dialog dengan Penjaja Cerita
Di pasar, Hang Tuah mendekati seorang penjaja cerita yang dikelilingi banyak pendengar. Lelaki tua itu sedang bercerita tentang cinta tragis Arjuna dan Mentari.
“Pak Tua,” sela Hang Tuah setelah cerita selesai, “apa yang membuat kisah Arjuna dan Mentari begitu abadi?”
Lelaki tua itu tersenyum bijak. “Karena cinta mereka tidak pernah mengenal akhir. Cinta sejati, meskipun tidak selalu menang, selalu meninggalkan jejak di hati mereka yang mendengar kisahnya.”
Hang Tuah merenung sejenak. “Apakah menurutmu, cinta seperti itu layak untuk diperjuangkan, meski dunia melawan?”
“Panglima,” ujar lelaki tua itu, “cinta yang sejati tidak butuh kemenangan. Ia hanya butuh keberanian untuk tetap hidup, meski dalam kesunyian.”
Kenangan tentang Putri Mayang
Dalam perjalanan kembali ke kapal, Hang Tuah memandang langit yang mulai berubah warna menjadi jingga. Ia teringat pada Putri Mayang, yang masih setia menjaga Bukit Larangan.
Mayang pernah berkata, “Jika aku harus menunggumu selamanya, biarlah Bukit Larangan menjadi saksi bahwa cintaku adalah angin yang tak pernah berhenti bertiup.”
Hang Tuah tersenyum pahit. Ia sadar, meskipun cintanya kepada Mayang begitu dalam, tugasnya sebagai seorang panglima selalu menjadi penghalang. Namun, ia juga tahu bahwa cinta Mayang tidak akan pernah padam, seperti kisah Arjuna dan Mentari yang terus dinyanyikan oleh anak-anak di dermaga.
Senandika Hang Tuah
Di atas kapal yang berlayar kembali ke lautan luas, Hang Tuah berdiri di geladak, menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Ia menggumamkan sebuah doa:
“Mayang, aku bukan Arjuna, dan kau bukan Mentari. Namun cintamu, seperti cahaya bintang, selalu menjadi penuntunku di tengah gelapnya lautan. Semoga suatu hari, ketika takdir tidak lagi menjadi musuh kita, aku bisa kembali ke Bukit Larangan dan membawamu bersamaku.”
Hang Tuah tahu, perjalanan hidupnya masih panjang, tetapi kenangan tentang Putri Mayang akan selalu menjadi mercusuar di hatinya, sebuah pengingat bahwa cinta sejati tidak pernah benar-benar hilang, bahkan ketika terpisahkan oleh lautan luas.
Penutup: Lagu yang Abadi
Malam itu, suara anak-anak dari dermaga terus terngiang di telinga Hang Tuah, seolah lagu tentang Arjuna dan Mentari adalah doa yang dikirimkan langit untuknya dan Mayang:
“Langit biru menyimpan cinta, Laut luas membawa cerita, Arjuna dan Mentari, kini mereka abadi, Dalam hati setiap insan yang mencintai…”
Hang Tuah tersenyum kecil, lalu melanjutkan pelayarannya, membawa kenangan dan cinta yang tak akan pernah ia lupakan.
No comments:
Post a Comment