"Kata orang, kalau melihat meteor jatuh, ucapkanlah keinginanmu. Siapa tahu terkabul," begitu ucapan yang sering kudengar sejak kecil. Jujur, aku tak pernah percaya hal semacam itu. Tapi malam ini, entah kenapa, aku ingin mencobanya.
Aku berjalan santai di kampung halaman, menikmati malam minggu yang syahdu. Suara jangkrik beriringan dengan tawa warga yang berkumpul di warung kopi pinggir jalan. Udara malam membangkitkan nostalgia masa kecil yang hangat.
Tiba-tiba, seberkas cahaya melintas di langit. Meteor. Aku berhenti, menatapnya, dan tanpa pikir panjang mengucapkan permintaan: "Tuhan, aku lelah jadi jomblo. Kalau bisa, kirimkan seseorang yang bisa menemani hari-hariku."
Aku tersenyum sendiri, merasa konyol. Tapi sebelum sempat melanjutkan langkah, “Brakk!” sebuah sepeda onthel menabrakku. Aku terjatuh.
“Aduh!” Aku meringis sambil mencoba bangkit. Pengendara sepeda itu juga terjatuh dan tampak tergesa-gesa berdiri.
“Maaf! Kamu nggak apa-apa?” Suara perempuan itu terdengar cemas.
Aku menoleh, dan di bawah remang cahaya lampu jalan, wajahnya terlihat familiar. “Dian?” tanyaku dengan suara tak percaya.
“Edi?” Dia terkejut, lalu tersenyum lebar.
Dian. Sahabat kecilku yang lama menghilang dari kehidupanku. Sejak kami melanjutkan sekolah di kota yang berbeda, aku hanya mendengar namanya sesekali lewat cerita teman atau orang tua. Dan kini, dia ada di hadapanku, dengan rambut sedikit berantakan dan lutut yang tampak terluka kecil.
“Kakimu luka,” kataku, menunjuk darah yang terlihat samar.
“Ah, cuma lecet,” jawabnya santai. Dia masih seperti dulu—selalu meremehkan rasa sakit.
Kami tertawa kecil, mengingat kejadian konyol ini. Aku menawarkan diri untuk mengantarnya pulang. Sepanjang jalan, kami berbicara tentang banyak hal—tentang sekolah, pekerjaan, dan kenangan masa kecil yang tak pernah hilang dari ingatan.
“Dian, boleh minta nomor hapemu?” tanyaku ragu saat kami sampai di depan rumahnya.
Dia tersenyum kecil, lalu menuliskan nomor itu di telapak tanganku. “Jangan lupa telepon, ya.”
Hari demi hari, hubungan kami semakin dekat. Hampir setiap malam kami berbicara melalui telepon atau pesan singkat. Bunga-bunga cinta perlahan tumbuh di antara canda dan tawa.
Dua tahun berlalu, dan kami akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Tapi rupanya, kebahagiaan kami tidak hanya menjadi milik kami berdua. Orang tua kami diam-diam sudah tahu dan bahkan setuju dengan hubungan ini. Di desa kecil seperti ini, jarum jatuh saja bisa jadi berita.
“Edi,” ujar Ayahku suatu malam, “sepertinya sudah waktunya membicarakan rencana yang lebih serius.”
Aku terkejut, tapi hatiku penuh haru. Ternyata orang tua kami sudah saling bertemu dan setuju untuk menjodohkan kami. Rasanya seperti mimpi—meteor kecil di langit malam itu ternyata menjadi awal segalanya.
Kini, aku dan Dian menjalani hari-hari kami dengan penuh syukur. Aku tahu, Tuhanlah yang menyusun cerita ini dengan begitu indah. Bahkan luka kecil di kaki Dian malam itu, entah bagaimana, menjadi salah satu fragmen penting dalam kisah cinta kami.
Dan di setiap malam berbintang, aku masih menatap langit. "Tuhan, terima kasih untuk meteor terindah ini. Semoga cinta kami selalu bersinar seperti cahaya-Nya."
No comments:
Post a Comment